Perlakuan Berbeda MKMK terhadap Hakim Terlapor

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)/RMOL
Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK)/RMOL

DIALOG antara Rosianna Silalahi dengan Ketua MKMK membuka tabir gelap tentang masalah perlakuan yang berbeda antara Ketua MKMK terhadap Hakim Terlapor. 

Pelanggaran kode etik dan perilaku hakim konstitusi hanya diberlakukan terhadap Hakim Terlapor untuk menilai dan membuat kesimpulan pelanggaran. Jadi, terkesan amat sangat kuat dan sangat terang benderang telah dilakukan pengecualian penerapan kode etik MK untuk MKMK.

Persoalannya adalah Rosi tidak menghadirkan narasumber yang mempunyai kesetaraan kompetensi dan rekam jejak pengalaman yang setara dengan Ketua MKMK untuk membangun konstruksi kebenaran imparsialitas dalam mengungkap apa sesungguhnya yang terjadi di balik sanksi MKMK terhadap Hakim Terlapor.

Bahkan, Rosi tidak menghadirkan Anwar Usman secara fisik dalam dialog, sehingga tidak ada konfirmasi dan pembelaan setara yang dilakukan oleh Anwar Usman pada waktu yang sama.

Pokok persoalan bersumber dari amar putusan MKMK nomor 2/MKMK/L/11/2023 pada butir 1, yang menyatakan Hakim Terlapor terbukti melakukan pelanggaran berat terhadap kode etik dan perilaku Hakim Konstitusi.

Yang dimaksud pelanggaran berat yang dipraktikkan oleh Hakim Terlapor ditulis pada kesimpulan putusan, yaitu melanggar penerapan prinsip ketidakberpihakan, prinsip integritas, prinsip kecakapan dan kesetaraan, prinsip independensi, prinsip ketidakberpihakan, prinsip kepantasan dan kesopanan. Akibatnya, disimpulkan telah terjadi pelanggaran berat berdasarkan Peraturan MK nomor 09/PMK/2006.

Persoalan mendasar, yang kemudian terjadi adalah MKMK melakukan pengecualian khusus yang berlaku untuk kepentingan MKMK itu sendiri. Misalnya, Ketua MKMK dalam beberapa kesempatan sebelum dipilih menjadi Ketua MKMK telah berpendirian dan berprasangka bahwa Hakim Terlapor telah bersalah melanggar kode etik.

Ketua MKMK berdasarkan informasi terbuka darinya adalah orang yang dahulu ditugaskan oleh Megawati Soekarnoputri sebagai generasi MK pertama, yaitu generasi pendiri MK.

Akan tetapi, persoalannya adalah Ketua MKMK merupakan kubu politik yang ter-framming sekarang sedang “berseteru” dengan Joko Widodo, namun Ketua MKMK membiarkan dipilih sebagai MKMK, sekalipun bermaksud untuk menegakkan kode etik dan perilaku hakim konstitusi sekali lagi.

Setelah putusan MKMK diputus, Ketua MKMK memberikan komentar terbuka, yang melebihi dari maksud untuk memperjelas putusan MKMK, yang mengabaikan hak jawab. MKMK memperluas definisi anggota keluarga, di mana keponakan diyakininya sebagai anggota keluarga batih (inti). Perluasan definisi tersebut di-framming oleh kubu politik sebelah.

Hakim konstitusi yang boleh tampil dalam forum dengar pendapat umum, namun diklasifikasikan sebagai pelanggaran, tetapi diperkecualikan untuk Ketua MKMK. Yang paling penting adalah MKMK boleh berkreativitas dalam membangun amar putusan, namun hakim konstitusi dilarang mempraktekkannya, yaitu memberlakukan klasifikasi baru sanksi pelanggaran sekalipun melanggar Peraturan MK 1/2023 tentang MKMK.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef); Pengajar Universitas Mercu Buana