Empat Perubahan

Rosdiansyah/Ist
Rosdiansyah/Ist

NGOBROL soal perubahan jelas tak ada habisnya. Apalagi, perubahan menyangkut hajat hidup orang banyak. Seperti perubahan harga sembako, perubahan harga pupuk atau perubahan harga sandang. Kalau dipikir-pikir, perbincangan tentang perubahan itu sudah setua usia manusia.

Di Pasar Pabean Cantikan, Surabaya, para pedagang juga acap mengeluh kenaikan harga sembako. Mereka harus bersilat lidah lawan pembeli. Bagi pembeli, kenaikan harga sering mengubah jadwal menu sehari-hari. Sebab, alokasi anggaran untuk bumbu harus dikurangi agar bisa membeli bahan pokok. Akibatnya, sajian sayur jadi terasa agak hambar karena kurang bumbu.

Itu salah-satu masalah nyata yang dihadapi warga sehari-hari. Pangkal dari persoalan ini tentu saja pada penyelenggara pemerintahan. Regulasi yang diterbitkan belum tentu segera berdampak positif pada ketersediaan kebutuhan warga. Misalnya, pada saat pandemi lalu, saat warga butuh multivitamin di apotek, ternyata ketersediaan multivitamin hanya ada pada apotek-apotek tertentu. Setelah diprotes rame-rame, barulah tersedia di seluruh apotek.

Oleh karena itu, butuh perubahan paradigma. Dari persoalan penyelenggara pemerintahan menjadi persoalan rakyat. Persoalan rakyat menjadi utama, dan spektrum persoalan itu luas. Sehingga butuh diinventarisir lalu penyelenggara pemerintah harus mencari solusi atau terobosan kebijakan. Itu perubahan pertama.

Perubahan kedua, persoalan rakyat tidak bersifat sektoral. Artinya, persoalan yang dihadapi rakyat tidak hanya sektor-sektor tertentu, misal sektor pendidikan atau sektor kesehatan saja. Sebab, fakta menunjukkan, misalnya, dalam penanganan kemiskinan ekstrem dibutuhkan cara pandang kawasan. Apa saja potensi yang ada di kawasan tersebut, lalu kaitannya satu sama lain, berikutnya upaya merangkainya menjadi satu kebijakan solid.

Perubahan ketiga adalah mengaitkan pertumbuhan pada keberlanjutan. Seringkali, pertumbuhan tidak disertai keberlanjutan sehingga terjadi kemandegan berdampak pada kreativitas serta inovasi. Misalnya, pertumbuhan pasar-pasar tradisional di Kota Surabaya yang harus juga mulai dipikirkan bagaimana keberlanjutannya. Warga yang sehari-hari ada dalam pasar tradisional tentu merasakan pertumbuhan jumlah pedagang, tapi bagaimana keberlanjutan dari pedagang lama serta kaitannya pada pedagang baru, itu menjadi tantangan.

Last but not least, perubahan dari egosentris ke kolaborasi. Tampaknya, ini yang paling susah. Tak mudah mengubah paradigma yang terlanjur mengakar, bahwa kerja gotong-royong itu jauh lebih bisa mendongkrak hasil, ketimbang kerja sendirian. Selama ini, prestasi kerja sering tertuju pada hasil individual, meski sesungguhnya keberhasilan itu bersifat kolektif.

Periset di Surabaya