- Melampaui Intelijen Negara
- Nyolong Dulu, Digjaya Kemudian
- Belajar dari Hawai'i, Jangan Terulang Lagi
JAWA Timur menjadi saksi sejarah terbentuknya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) pada 7 Desember 1990. Saat itu hari Jumat. Suasana Universitas Brawijaya di Kota Malang agak mencekam. Terasa betul bagaimana pertarungan kekuasaan sedang berlangsung. Antara kubu Islamofobia dan kubu yang memprakarsai pembentukan ICMI. Yang terpanas, ungkapan Islamofobia disebar melalui media massa.
Sejumlah elit Islamofobik seperti Benny Moerdani dan pengikutnya terus-menerus menebar teror mental. Menerobos ke dalam alam pikiran kelompok intelektual Islamofobia Jawa Timur. Menerbitkan sikap was-was mereka terhadap ICMI. Akibatnya, mereka gagal menangkap semangat zaman (zeitgeist) kala itu. Bahwa peran intelektual dalam pembangunan jelas sangat penting sekaligus mendesak.
Bagi kaum Islamofobik Jawa Timur, ICMI hanya kendaraan politisasi Islam. ICMI dituding sekadar alat kekuasaan sekelompok muslim menebar politik aliran. Meski tanpa bukti nyata, tudingan ini terus bergema selama dekade '90an di Jawa Timur. Para penuding bercokol di birokrasi, kampus dan forum-forum diskusi. Mereka tampil bersuara keras, meski ironinya tak bisa menunjukkan bukti politisasi Islam ala ICMI.
Boleh jadi, ketidaksukaan mereka terhadap ICMI murni karena tak ingin tersaingi. Sebab, selama dekade '80an, kelompok Islamofobik Jawa Timur telah menikmati kenyamanan di birokrasi dan kampus. Mereka lancar menyuplai info serta wacana ke para pebisnis Jawa Timur. Sehingga mereka bisa mengendalikan roda birokrasi plus roda bisnis kelompok keturunan di berbagai daerah di Jawa Timur.
Memasuki dekade '90an Jawa Timur mulai berubah. Termasuk partai dominan, Golkar, juga mulai berubah. Terasa iklim ''ICMI-friendly'' dalam partai ini serta kiprahnya di Jawa Timur. Sebaliknya, faksi yang tersingkir dalam Golkar Jawa Timur kemudian memilih diam-diam mendukung terbentuknya Yayasan Keluarga Persaudaraan Kebangsaan (YKPK). Yayasan ini sengaja dibentuk untuk menandingi ICMI, meski dalam berbagai kesempatan pengurusnya berdalih yayasan sekadar tempat kumpul-kumpul. Tak tanggung-tnggung, yayasan ini didukung tokoh Golkar kala itu, Midian Sirait. Ia hadir di sebuah hotel di Surabaya dalam acara YKPK.
Jawa Timur dekade '90an memang ikut dalam perubahan pendulum politik nasional. Dari era Islamofobia ke era Islamofilia. Ditandai dari kemunculan beragam forum kajian lintas kota di Jawa Timur yang acap membahas peran intelektual muslim dalam pembangunan. Karya-karya, diantaranya dari, Ali Syari'ati, Dawam Rahardjo, Fachry Ali, Fuad Amsyari, Kuntowijoyo, menjadi rujukan merancang desain sosial tercerahkan.
Namun, kecurigaan terhadap ICMI di Jawa Timur juga kuat. Tak semua insan kampus sudi berhimpun ke ICMI Jawa Timur. Bahkan resistensi terhadap ICMI muncul di berbagai tempat. Terutama dari para aktivis ber-DNA Islamofobik kronis. Mereka banyak bercokol di sejumlah kampus di Jawa Timur. Bagi mereka, ICMI organisasi primordial dan sektarian.
Termasuk sikap sejumlah tokoh media Jawa Timur. Mereka kurang nyaman atas kehadiran ICMI. Mereka sering berkumpul di kafe-kafe hotel, resto dan menuding ICMI sebagai organisasi sektarian. Sami mawon dengan kegarangan pengamat anti-ICMI dari kampus-kampus tertentu. Dan selama dekade '90an di Jawa Timur, ICMI tak lepas dari tudingan sumir itu.
Peran ICMI mulai surut usai BJ Habibie menjabat sebagai presiden (21 Mei 1998-20 Oktober 1999). Habibie satu-satunya presiden di Indonesia yang secara personal berhasil menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar. Dikenal sebagai ''Teori Zig-Zag Habibie''. Ternyata, naiknya Habibie sebagai presiden tak serta-merta menaikkan pamor ICMI. Di Jawa Timur, kendali ICMI pelan-pelan beralih dari Daldiri Mangoendiwirja ke Latief Burhan. Daldiri Mangoendiwirja tokoh Jawa Timur yang hadir bersama Fuad Amsyari, Ika Rochadjatun Sastrahidayat, Mohammad Nuh, Abdul Latief Burhan, Ismail Nachu serta Muhammad Taufiq AB dalam deklarasi pembentukan ICMI di kota Malang 1990.
Setelah 2004, ICMI Jawa Timur kian redup. Pergantian kepengurusan sudah beberapa kali terjadi. Kini, 34 tahun berlalu sudah, ICMI Jawa Timur tetap eksis. Tantangan tentu saja sudah berubah. Tak lagi melulu menghadapi tudingan sumir, sebab kini di era medsos ICMI Jawa Timur sesungguhnya berpeluang menjadi aktor penting dalam dinamika politik, sosial serta ekonomi.
Peneliti di Surabaya
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Melampaui Intelijen Negara
- Nyolong Dulu, Digjaya Kemudian
- Belajar dari Hawai'i, Jangan Terulang Lagi