Gemoy Tapi Kejam

Kim Jong Un/Ist
Kim Jong Un/Ist

BANYAK orang salah atau keliru menafsirkan ajaran Machiavelli. Kekeliruan ini bersumber dari karya penafsir Machiavelli, Leo Strauss, bertajuk ''Thoughts on Machiavelli'' yang terbit tahun 1958. Nyaris sebagian besar politisi atau ilmuwan politik merujuk ke karya Leo Strauss itu. Dan kekeliruan pun berlangsung sampai lima dekade berikutnya sejak karya Strauss diterbitkan.

Untungnya, kemudian ada karya Maurizio Viroli, filsuf politik Italia berjudul ''How to Choose a Leader'' yang terbit tahun 2016. Melalui karya ini, Viroli mengupas tuntas bagaimana sesungguhnya pemikiran Machiavelli. Diantaranya, saran Machiavelli pada warganegara saat memilih calon pemimpin. Sarannya, telusuri watak asli calon pemimpin dan apa yang telah dikerjakannya. Jangan melihat citra dan penampilannya. Dalam frasa sohor begini ''Judge by the hands, not by the eyes'' (Nilailah lewat tangan, bukan dengan mata).

Mata bisa ditipu pencitraan. Mata tanpa nalar kritis dapat dikelabui pencitraan. Dan tanpa nalar kritis, warga pemilih terhalang menguak siapa sesungguhnya calon pemimpin tersebut. Tabiat gampang marah, mudah meledak, dicitrakan lucu menggemaskan. Watak kejam culas penuh syahwat berkuasa, lalu dicitrakan sebagai sosok gembira berjoget-joget entah kenapa. Kekejaman dan kesadisan ditutup melalui pencitraan diri lewat joget.

Joget menutupi watak bengis. Berjoget di atas nestapa keluarga yang anggota keluarganya telah diculik lalu dihilangkan. Itu joget sadis. Bersuka ria hendak menghilangkan rekam jejak kelam masa lalunya. Sampai hari ini tak diketahui nasib mereka yang diculik. Pelanggar HAM berat malah berjoget enteng, menari kesana-kemari tanpa beban. Tak tampak rasa malu telah berbuat nista di masa lalu.    

Kim Jong Un, itu unyu-unyu plus gemoy. Tapi, jangan tanya bagaimana ia memperlakukan rival politiknya. Kim melempar pamannya yang divonis hukuman mati, Jang Song-Thaek, ke 120 anjing lapar. Bapaknya, Kim Jong Il, juga tak kalah sadis memperlakukan lawan politik meski Jong Il acap tampil gemoy. Maka, gemoy adalah citra dan modus pencitraan. Ia digunakan untuk menutupi watak asli.

Adolf Hitler, itu suka berdansa jig. Ia berdansa dimana saja selagi ada kesempatan. Ia tak peduli pada nyawa manusia. Baginya, yang penting dansa. Ia berdansa di depan para pendukungnya. Dan para pendukung itu menyemangatinya. Begitupula Josef Stalin, diktator Sovyet. Ia suka joget saat di panggung. Bergembira di kala rakyat sengsara. Bersuka di saat rakyat menderita.

Bagi penyuka sadisme, joget menjadi cara mencitrakan diri. Untuk mengelabui rakyat, cukup sosok sadis berjoget gemoy. Lewat joget, ia menghipnotis publik dari kebengisan masa lalunya. Apalagi jika sebagian besar generasi saat ini tak tahu bagaimana masa lalu si tukang joget tersebut.

Peneliti di Surabaya