Debat

Rosdiansyah/Ist
Rosdiansyah/Ist

DEBAT bukan bertengkar. Lawan debat adalah sahabat berpikir. Melalui debat, lahirlah aneka cara pandang. Sangat bermanfaat untuk pematangan diri sekaligus memperluas wawasan. Bahkan, dari berdebat bisa diketahui alternatif pandangan menambah nuansa pemikiran. Namun, jangan terjebak debat kusir. Jenis debat tiada habis, bisa-bisa berujung tengkar.

Ada kalanya debat harus diakhiri dengan kesepakatan, malah bisa jadi usai debat masing-masing pihak tak perlu sepakat. Itu bukan masalah besar, sebab menerima ketidaksepakatan merupakan bagian dari kesepakatan diantara para pihak yang berdebat. Dinamika debat tentu menjadi ciri manusia rasional.        

Ada beberapa hal yang dibutuhkan dalam debat. Selain kemampuan beretorika, juga diperlukan keterampilan berlogika serta punya data. Tanpa data, maka debat hanya menghasilkan silat kata, baku kalimat tanpa manfaat. Sebaliknya, berkat data, debat memberi faedah,  publik bisa lebih memahami masalah.

Dalam sejarah kita menjelang kemerdekaan, para pendiri bangsa telah memberi teladan berdebat. Tak alergi berdebat. Menghadapi perdebatan secara elegan. Bukan hanya berdebat di dalam ruangan, tapi juga berdebat lewat tulisan. Mereka berpolemik. Saling menjabar wacana, mengurai fakta, menegaskan pemikiran. Dalam risalah sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) jelang proklamasi 1945 menunjukkan itu. Bukan perbincangan biasa.

Dari perdebatan berkualitas, rakyat lalu bisa membahas. Mana pendapat masuk akal, mana pendapat sesat akal. Mana tinjauan berbobot, mana pertimbangan tak bermutu. Situasi ini bisa mendewasakan rakyat. Meski ada yang khawatir, bahwa perdebatan antar elit bisa memicu keterbelahan kelompok warga. Rasanya, kekhawatiran seperti itu berlebihan, cenderung merendahkan kemampuan rakyat memahami informasi yang kini justru mudah diakses lewat Google.

Seluruh calon diktator dan diktator, umumnya tak suka pada debat. Mereka cenderung menghindari debat, bahkan kalau perlu memberangus debat apalagi kritik. Bagi para diktator, debat sangat mengganggu upaya mereka menghipnotis rakyat. Bahkan para pendukung diktator biasanya selalu menganggap debat hanya akrobat kata-kata minim kerja. Sejarah kediktatoran sudah menunjukkan hal itu. Tak ada diktator suka pada debat. Diktator lebih menyukai kerja sambil mencuri sumberdaya milik rakyat.

Peneliti di Surabaya


ikuti update rmoljatim di google news