Ekonomi Politik 2024 Masih Limbung

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

DI ujung tahun ini, kita perlu membidik bakal apa yang terjadi dalam blantika dan dinamika ekonomi dan politik nasional. Yang jelas, pada 2024 terjadi political overheating, Selain riuhnya kandidasi calon legislatif dari pelbagai parpol, tentu diiringi panasnya suhu pertarungan paslon presiden-wapres. 

Jika pada Pemilu 2014 dan 2019 menyeruak pembelahan berbasis identitas agama, suku, dan etnis, maka pada pesta demokrasi 2024, lebih mengemuka pembelahan berbasis unsur negara atau nonnegara, status quo dan nonstatus quo, perubahan dan keberlanjutan, dan lain-lain.

Tensi jualan identitas terutama berbasis agama teredam pada 2024. Jualan simbol-simbol agama sedikit bisa dilerai. Saya ingin menukil ucapan Ibnu Rusyd, “Bisnis paling menguntungkan adalah jualan agama kepada masyarakat yang bodoh. Kalau kau ingin menguasai orang-orang bodoh, maka bungkuslah kejahatan dengan kemasan agama”.

Jika anda tidak jernih dalam memilih kandidat, terutama untuk pasangan paslon, besar kemungkinan akan berkuasa hingga 10 tahun ke depan atau lazim dua periode. Artinya, kita memilih untuk pertarungan 2024-2034. Suatu rentang yang akan mendeterminasi nasib bagaimana kita mengelola bonus demografi agar tidak menyeret ke tiang sejarah malapetaka demografi. Jualan Indonesia Emas hanya sekadar khayalan kosong jika salah memilih paslon.

Demikian pula pada aspek ekonomi, semua pemilik modal raksasa lagi wait and see. Investor tidak ada yang berani menginjeksi dananya untuk proyek-proyek strategis dan jangka panjang. Mereka bersifat pragmatis, melakukan investasi politik terutama mendanai kandidasi yang memiliki tingkat survei elektabilitas yang menanjak. Pemilik modal pasti rasional melihat pelbagai survei-survei.

Yang sedikit menopang ekonomi kita pada 2024 hanyalah belanja politik. Bayangkan biaya perhelatan pesta demokrasi untuk KPU saja berjumlah Rp76,6 triliun. Belum lagi berapa besar biaya kontestasi tiga pasangan paslon dan calon legislatif yang jumlahnya 9.917 orang.

Di sisi lain, kondisi ekonomi global lagi lesu dihadang tensi geopolitik dunia terutama mendidihnya eskalasi konflik Timur Tengan dan Rusia-Ukraina yang tidak jelas ujung penyelesaiannya. Begitu juga, melemahnya daya beli masyarakat dunia, kenaikan harga pangan, dan seterusnya.

Sementara di dalam negeri, kita masih dijerat tingkat ICOR (Incremental Capital Output Ratio) yang masih sangat tinggi. Menyandera pendapatan negara kita. Angka ICOR Indonesia masih bertengger tinggi mendekati 7,4 persen, sementara rerata negara Asean hanya 3,5%. Artinya, masih rendahnya produktivitas, rendahnya daya saing, inefisiensi, masih membengkaknya angka korupsi, dan banyaknya biaya siluman menerpedo mesin birokrasi ekonomi.

Begitu juga masalah Total Factor Productivity (TFP) Indonesia sangat ironis dibandingkan banyak negara lain. TFP menjadi indikator ini dipakai untuk mencerminkan tingkat produktivitas suatu negara dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Terpentalnya TFP juga bertalian dengan gejala deindustrialisasi di Indonesia, yang diindikasikan dengan menurunnya kontribusi manufaktur terhadap PDB.

Penulis adalah Ekonom Muhammadiyah/Rektor ITB Ahmad Dahkan Jakarta 2018- 2023