Suksesi dan Demokrasi

Ilustrasi kursi presiden/RMOL
Ilustrasi kursi presiden/RMOL

UNTUK mengatasi masalah risiko terwujudkannya otoritarianisme, kediktatoran, dan tirani, maka Machiavelli menulis tentang dilema antara kepemimpinan satu orang saja, yang disebut raja, kaisar, dan sebutan lainnya. 

Antitesis dari kepemimpinan tunggal itu adalah kepemimpinan orang banyak, yang dinamakan sebagai demokrasi. Selanjutnya di antara kepemimpinan tunggal dan orang banyak, dinamakan oligarki. Kepemimpinan elite segelintir orang, yang berada pada puncak kekuasaan.

Kemudian NKRI memilih suksesi kepemimpinan dalam bentuk republik. Republik yang konsep disodorkan oleh Machiavelli sebagai alternatif untuk meminimumkan risiko atas berbagai bentuk model kepemimpinan di atas. Para pemimpin nasional mengadopsi konsep republik tersebut.

Dalam perjalanan sejarah, kemudian muncul fenomena kepemimpinan seumur hidup, yang akhirnya menjadi republik rasa kaisar. Republik rasa kerajaan. Berlanjut menjadi kepemimpinan selama 32 tahun, karena tidak kunjung muncul pemimpin alternatif.

Gerakan reformasi yang mengoreksi gaya kepemimpinan seumur hidup sebagai republik rasa kerajaan, kemudian kesepakatan kepemimpinan nasional menyatakannya dalam bentuk UUD 1945 hasil amandemen keempat yang disatukan. Periode kepemimpinan dibatasi hanya dua periode. Suksesi diatur maksimum setelah 10 tahun berkuasa, supaya terjadi kaderisasi.

Kemudian batas waktu suksesi tersebut kembali diuji, setelah konsep pembagian kekuasaan menggunakan model republik mengalami koreksi. Koreksi terhadap periodisasi kepemimpinan tidak dapat senantiasa dibatasi.

Disinilah masalah pembatasan suksesi itu timbul. Gerakan moral dan etika meyakini bahwa model kepemimpinan orang banyak, yang bernama demokrasi itu tetap menjadi pilihan aktual yang terbaik.

Diyakini terbaik, sekalipun terdapat koreksi mengenai berkuasanya oligarki. Berkuasanya elite kekuasaan. Tulisan Machiavelli tersebut di atas tidak runtuh, melainkan mengalami reformasi. Penataan lanjutan.

Perbedaan nilai-nilai, norma-norma, dan kepentingan politik, yang dituliskan dalam hukum tertulis bernama UUD dan UU dirasakan senantiasa ditantang untuk reaktualisasi. Bahkan etika dan moralitas pun akhirnya secara perlahan dituliskan sebagai kode etik.

Persoalannya kemudian ketika suksesi Pilpres hasil survei memprediksi satu putaran, kemudian paslon yang lainnya masih bersemangat bersaing secara demokratis pada hari-hari sebelum 14 Februari 2024. Teridentifikasi muncullah persaingan model “democrazy”, yang semakin menguat dan mempertanyakan kesepakatan nasional modifikasi periodisasi suksesi.

Pernyataan Mahfud Md mundur dari kabinet setelah terkesan direstui oleh Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri. Walaupun menjadi sebuah konsekuensi logis yang biasa-biasa saja, namun gerak maju mundur, dan penguatan perbedaan nilai-nilai, norma-norma, dan kepentingan politik menjadi pemicu titik kritis. Titik terhadap potensi risiko pemilu 2024 akan berakhir menjadi “soft landing”, “hard landing”, ataukah “crash landing”.

Berebut kekuasaan, kepemimpinan. Siap menang, namun tidak siap kalah. Haruskah suksesi Pilpres menjadi instrumentasi “proxy war” berpecah-belah.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), pengajar Universitas Mercu Buana