Pemilu, Politik dan Janji Manis Calon

Moh Hasan/istimewa
Moh Hasan/istimewa

BESOK. Pemilu 2024. Hari penentuan setelah berpuluh-puluh hari menunggu. Di media sosial, banyak argumen yang beradu dengan orang-orang mengklaim bahwa pilihan mereka adalah yang terbaik.

Wajah-wajah para calon pemimpin terlihat di media online dan platform media sosial lainnya. Mereka juga tampil di televisi berdebat dan memberikan janji-janji yang menggoda hati rakyat.

Saat ini, para calon pemimpin sedang gencar memberikan janji-janji dan senyum manis. Hal ini mengingatkan kisah seorang teman tentang hubungan asmaranya dengan seorang perempuan.

Seperti pasangan yang telah menghabiskan waktu bersama, hampir tidak ada momen yang terlewatkan tanpa kebersamaan. Senyum manis perempuan ini selalu menghiasi setiap pertemuan.

Janji-janji manis terucup dari mulut perempuannya itu diumumkan di udara, seolah-olah membiarkan semesta merekam kata-kata kekasihnya yang selalu berjanji setia, jujur, dan taat.

Namun, pada akhirnya, terungkap bahwa kata-kata yang diucapkan selama ini hanyalah dusta penuh tipu daya. Yang ada justru pengkhianatan dan kepalsuan.

Nama Tuhan yang terdengar sebagai sumpah ternyata hanya digunakan untuk menyamarkan. Kadang-kadang memang pujaan hatinya menunjukkan kejujuran, tetapi hanya terhadap hal-hal yang dianggap aman.

Padahal, kejujuran yang setengah-setengah adalah kebohongan yang sistematis. Perempuan ini manis tapi juga sadis tanpa ada rasa iba.

Masyarakat yang hanya mengenal para kandidat dalam waktu yang relatif singkat. Sangat sulit bagi siapa pun untuk benar-benar memahami dan mengenal karakter mereka, baik secara pribadi maupun dalam pemikiran lembaga yang mereka wakili. Sulit untuk memastikan apakah janji-janji mereka akan benar-benar ditepati.

Pertanyaan ini sangat mungkin terus menghantui pikiran para pendukungnya, seperti ketika seorang pria memperhatikan tindakan perempuannya yang tidak selaras dengan ucapan.

Ada enam pasangan calon pemimpin yang sedang menjadi perbincangan di Indonesia. Mereka tampil mempesona dan memberikan banyak janji untuk memajukan negara ini.

Namun, seperti yang dikatakan Pak Kiai, orang-orang seharusnya melihat kinerja nyata bukan hanya kata-kata mereka di depan kamera.

Belakangan ini, kelakuan Pak Kia juga sulit dimengerti. Sebagai seorang penghulu agama, seharusnya dia lebih sibuk memberikan ceramah keagamaan dan mengajar ngaji, tetapi malah lebih sering terlibat dalam politik dan mempromosikan janji-janji.

Ketika para pemuka agama turun gunung menjelang pemilu, mereka langsung pasang mode "Damkar." Mereka menyadari peran dirinya pada masa-masa ini tugasnya hanyalah seperti pemadam kebakaran. Kalau ada kebakaran ditelepon dan dipentingkan, kalau sudah padam apinya, pemadamnya dilupakan.

Oleh karena itu, di momen yang singkat dengan masa berlakunya sangat pendek, para Kiai jurkam ini memantapkan "etika kerja" profesional. Ada tarif ada fartwa.

Di negeri ini, siapa pun tak akan mengingkari jika ada yang berpendapat, agama hanya dipakai sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan negara, bukan dibakar sebagai sumber moral etika bagi negara. 

Sementara orang-orang sibuk menyaksikan perdebatan para kandidat di televisi, temanku justru berdebat dengan dirinya sendiri, antara menerima kenyataan atau menyangkal bahwa perempuan yang disayanginya selama ini adalah makhluk hidup yang tidak memiliki hati.

Rasa percaya yang sudah dipupuk dan tumbuh seketika harus luluh lantak setelah menyaksikan sendiri adanya perselingkuhan yang disembunyikan dengan baik.

Di tengah keramaian orang-orang yang mengagumi penampilan para kandidat dalam debat, seorang pria yang patah hati dengan santainya berkomentar bahwa debat ini seharusnya tidak perlu ditayangkan.

Sama seperti hubungan asmara, janji setia, jujur, dan taat tidak cukup hanya dengan berjanji atas nama Tuhan.

Menurutnya, yang dibutuhkan adalah bukti nyata dari kinerja mereka, bukan sekadar kata-kata di depan kamera. Pendapatnya yang praktis dan tidak bertele-tele cukup mengesankan.

Memang benar, di media sosial banyak orang yang terobsesi dengan debat dan mendukung kandidat favorit mereka. Namun, yang sebenarnya penting adalah melihat kinerja nyata dari calon pemimpin tersebut. Setuju dengan pendapat teman pria yang patah hati itu.

*Wartawan Kantor Berita RMOLJatim.