Hasrat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang terlihat ingin merampungkan sejumlah Rancangan Undang-Undang (RUU) menjelang akhir masa tugas justru bikin geram publik. Pasalnya, upaya "kejar tayang" DPR ini tidak dilatarbelakangi dengan kepentingan rakyat.
- Turun Langsung ke TPS se Jatim, Relawan Bocahe Gibran Nusantara Siap Amankan Suara Prabowo-Gibran
- Pendaftaran Online KLB Abal-abal, Profesionalitas Kemenkumham Dipertaruhkan
- Simbiosis Mutualisme Golkar dan Ridwan Kamil
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti mengatakan, saat ini DPR memang sedang berusaha untuk meningkatkan kuantitas program legislasi nasional (Prolegnas), namun mengesampingkan kualitasnya.
Wajar. Karena, menurut Bivitri, per 17 September lalu DPR baru mengesahkan 31 UU dari 189 RUU. Angka ini jelas sangat minim, sehingga DPR periode 2014-2019 ini langsung ngebut untuk menambah kuantitas kinerjanya.
"Masalahnya adalah, mepet di akhir dan ada yang tidak mendapatkan porsi pembahasan yang cukup," ujar Bivitri dalam salah satu acara di televisi swasta, Selasa (24/9).
Bivitri menambahkan, yang dimaksud porsi pembahasan yang cukup bukan hanya berapa tahun pembahasan tersebut dilakukan, melainkan juga sisi kualitas pembahasan.
Lanjut Bivitri, seperti RUU KUHP yang terdiri dari 700-an pasal tindak pidana, pembahasan tentu harus dilakukan lebih mendalam. DPR harus mengundang stakeholders terkait dan melakukan diskusi dengan berbagai kalangan.
"Memang DPR mengundang LSM dan lain sebagainya. Pernah kita diundang, tapi DPR yang datang hanya lima orang. Kami buat masukan tertulis rapih, kampus juga melakukan hal yang sama. Tapi ternyata masukannya tidak ditimbang. Semua ada rekam jejaknya. Kami ada Aliansi Nasional RKUHP. Di sana ada semua," paparnya.
"Jadi, maunya DPR itu apa?" tukasnya seperti dimuat Kantor Berita Politik RMOL. [mkd]
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- PPP Usung Ganjar, Golkar Klaim KIB Tetap Solid
- Jokowi Minta Pilkada Serentak Terapkan Protokol Kesehatan Secara Ketat
- Jika Lembek Sikapi Penundaan Pemilu, Jokowi akan Dianggap Lindungi Oligarki