- Menolak Lupa Atas Hilangnya Munir
- Fatwa di Meja Roulette: Mimpi Kasino Halal di Negeri Seribu Larangan
- Polemik Penahanan Ijazah:Negeri Sejuta Sarjana, Sejuta Penderitaan
DUA dekade pasca-Reformasi 1998, Indonesia menghadapi situasi politik yang semakin paradoks. Di satu sisi, sistem demokrasi elektoral dan multipartai telah menjadi keniscayaan konstitusional; di sisi lain, wajah demokrasi itu kian diselubungi kabut oligarki dan dinasti politik. Masuknya Joko Widodo—seorang figur dari luar elite partai tradisional—ke dalam sistem kekuasaan sejak 2014 sempat menjadi angin segar yang menjanjikan pergeseran paradigma kekuasaan. Namun, di ujung periode kedua kekuasaannya, arah politik Jokowi justru mengindikasikan konsolidasi kekuasaan personal yang membentuk poros baru kekuatan politik. Salah satu perwujudannya yang mencolok ialah keterlibatannya dalam mengendalikan Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sebuah partai yang semula digagas sebagai motor anak muda progresif dan anti-korupsi.
Artikel ini mengulas secara kritis kemungkinan dan konsekuensi ketika PSI benar-benar berada di bawah komando Jokowi—baik secara simbolik, struktural, maupun substantif. Dengan pendekatan ilmiah dan analisis politik kontemporer, opini ini menyuguhkan pembacaan tajam atas relasi kuasa, kontradiksi ideologis, serta implikasi demokratis dari fenomena ini.
PSI: Dari Harapan Muda ke Alat Kekuasaan Lama?
Didirikan pada 2014 oleh sekelompok anak muda urban dengan semangat antikorupsi dan reformasi, PSI memposisikan diri sebagai alternatif dari partai-partai mapan yang telah tercemar praktik transaksional. Narasi utama PSI sejak awal adalah keterbukaan, meritokrasi, dan perlawanan terhadap politik dinasti. Namun, sejak 2023, wajah PSI berubah drastis. Masuknya Kaesang Pangarep—anak bungsu Jokowi—sebagai ketua umum menjadi titik balik identitas partai tersebut. Proses politik yang membawanya ke puncak partai berlangsung sangat cepat dan minim partisipasi akar rumput.
Apakah PSI masih dapat disebut sebagai partai anak muda yang progresif, atau justru telah menjelma menjadi kendaraan baru bagi ekspansi pengaruh keluarga Jokowi? Bila benar PSI kini berada dalam garis komando Jokowi, maka konsekuensinya tidak semata soal politik praktis, tapi menyentuh jantung demokrasi Indonesia: bagaimana kita memaknai partai politik dalam sistem representasi?
Komando Jokowi dan Arsitektur Politik Dinasti
Fenomena keterlibatan langsung Jokowi dalam PSI mengindikasikan bangunan baru dalam arsitektur kekuasaan yang menekankan pada kesinambungan kuasa pasca-masa jabatan. Dengan menempatkan anggota keluarga dalam posisi strategis partai, Jokowi tampaknya sedang membangun “legacy politics” yang bukan berbasis ideologi atau capaian reformasi, melainkan berdasarkan jejaring personal dan afiliasi kekerabatan. Ini adalah pola yang lazim dalam praktik politik dinasti di berbagai negara, termasuk Filipina dan India, yang seringkali berakhir dengan stagnasi reformasi dan pembusukan institusional.
Dalam konteks Indonesia, dominasi kekuasaan yang diperpanjang melalui partai-partai satelit (clientelistic parties) seperti PSI—yang disusupi oleh elite politik tertentu—memperlihatkan gejala pergeseran sistem politik dari demokrasi kompetitif menjadi demokrasi oligarkis. PSI, dalam posisi ini, bukan lagi menjadi ruang emansipatoris bagi kaum muda dan kelompok progresif, tetapi justru menjadi instrumen reproduksi kekuasaan dinasti.
Kontradiksi Nilai dan Hilangnya Integritas Ideologis
Keterlibatan Jokowi secara de facto dalam mengarahkan PSI menimbulkan kontradiksi mendasar terhadap nilai-nilai dasar partai tersebut. PSI semula dikenal dengan sikap kritis terhadap politik uang, politik identitas, dan praktik nepotisme. Namun hari ini, di bawah Kaesang yang dipromosikan bukan melalui rekam jejak politik, tapi karena statusnya sebagai anak presiden, semua narasi tersebut runtuh oleh kenyataan.
Ketika partai politik kehilangan integritas ideologis, maka satu-satunya yang tersisa hanyalah pragmatisme elektoral. Tanpa nilai, partai seperti PSI akan bersaing bukan dalam arena gagasan, tetapi dalam perebutan akses terhadap sumber daya kekuasaan. Ini bukan saja membahayakan etika politik, tetapi juga menyesatkan generasi muda yang sebelumnya melihat PSI sebagai harapan baru. Anak muda yang terlibat dalam politik tanpa nilai, berisiko menjadi agen-agen baru dari oligarki tua dalam balutan gaya baru.
Dampak Sistemik terhadap Demokrasi dan Representasi
Jika PSI benar-benar menjadi perpanjangan tangan Jokowi pasca-2024, maka demokrasi Indonesia memasuki fase baru: demokrasi bayangan (shadow democracy). Di mana kekuasaan nyata tidak lagi berada di tangan pemegang jabatan formal, tetapi dikendalikan melalui jejaring partai dan figur simbolik.
Fenomena ini memperlemah prinsip dasar sistem perwakilan. Rakyat memilih presiden untuk dua periode. Ketika masa jabatan selesai, maka secara prinsip, mandat rakyat juga selesai. Namun bila melalui partai seperti PSI, Jokowi dapat terus mempengaruhi arah politik nasional, maka terjadi pelanggaran etis terhadap prinsip demokrasi periodik. Apalagi jika PSI menjadi alat untuk memuluskan agenda-agenda politik tertentu—seperti revisi undang-undang, intervensi terhadap lembaga negara, atau pengondisian opini publik melalui media sosial—atas nama “kepentingan rakyat”, padahal berbasis pada kepentingan kelompok kecil.
Reformasi yang Terbajak dan Masa Depan Politik Anak Muda
Yang paling tragis dari fenomena ini adalah bagaimana semangat reformasi dan partisipasi anak muda dalam politik justru dibajak oleh kekuatan yang semestinya dilawan. Alih-alih memperluas ruang kritik dan alternatif, PSI di bawah kendali Jokowi justru menutup ruang dialektika publik. Kritik terhadap penguasa dianggap sebagai ancaman, bukan koreksi. Ketika partai anak muda justru tunduk pada kekuasaan lama, maka masa depan politik progresif menjadi suram.
Generasi muda seharusnya tidak disiapkan untuk menjadi pengikut setia dinasti politik, melainkan menjadi agen perubahan yang membawa nilai, integritas, dan keberanian moral. Jika PSI gagal menjaga jarak dari kekuasaan, maka ia tidak lebih dari sekadar alat dalam skenario pelanggengan kekuasaan yang dibalut gaya pop, konten media sosial, dan jargon milenial.
Demokrasi atau Oligarki Bergaya Baru?
Pertanyaan mendasar yang harus dijawab publik hari ini bukan sekadar “apakah PSI akan lolos ke parlemen”, tetapi: untuk siapa PSI bekerja? Apakah ia benar-benar menjadi saluran representasi rakyat, atau hanya kendaraan baru bagi kekuasaan lama dalam wajah yang lebih muda dan lebih memesona? Demokrasi Indonesia membutuhkan partai-partai yang mengakar pada rakyat, bukan yang dibangun dari atas oleh elite dan diwariskan seperti bisnis keluarga.
Jika benar PSI kini berada di bawah komando Jokowi, maka kita menyaksikan bukan kebangkitan anak muda, melainkan reinkarnasi politik lama dalam bungkus baru. Dan bila publik tetap diam, maka sejarah akan mencatat era ini sebagai fase kemunduran demokrasi yang dibungkus euforia digital dan konten viral.
*Pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Menolak Lupa Atas Hilangnya Munir
- Fatwa di Meja Roulette: Mimpi Kasino Halal di Negeri Seribu Larangan
- Polemik Penahanan Ijazah:Negeri Sejuta Sarjana, Sejuta Penderitaan