Demokrasi Dalam Genggaman Para Penjilat

Khairul A. El Maliky/Dok. Pribadi
Khairul A. El Maliky/Dok. Pribadi

BAYANGKAN sebuah pesta rakyat yang meriah. Ada tenda, ada nasi kotak, ada panggung dangdut, ada MC yang suaranya cempreng tapi percaya diri. Tapi saat pesta dimulai, yang datang justru para penjilat kekuasaan, bukan rakyat yang punya undangan. Rakyat cuma jadi latar belakang, semacam properti dalam drama. Sementara para penjilat berdansa di atas panggung demokrasi, menyanyikan lagu pujian dengan nada palsu.

Itulah demokrasi kita hari ini: bukan lagi dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, tapi dari penjilat, oleh penjilat, untuk pemilik kekuasaan. Kalau Abraham Lincoln hidup di negeri ini, mungkin beliau akan segera pensiun dari mendefinisikan demokrasi. “No thanks,” kata Lincoln, “this is not what I meant.”

Demokrasi, Mimpi yang Dijual dalam Brosur Politik

Sejak reformasi, bangsa ini begitu semangat mengusung demokrasi. Katanya sih, rakyat bebas memilih, bebas berpendapat, bebas mengkritik. Tapi kebebasan itu kini seperti wifi di warung kopi: ada sinyal tapi nggak bisa konek. Yang bisa konek cuma mereka yang tahu password kekuasaan, dan biasanya password-nya adalah: menjilat.

Demokrasi telah menjadi brosur marketing politik. Isinya manis, gambarnya indah, ada foto senyum politisi memeluk anak kecil sambil menanam pohon. Tapi isinya? Janji manis yang kedaluwarsa sejak dia terpilih. Setelah duduk di kursi empuk, lupa sudah siapa yang bantu dorong saat kampanye.

Dan di situlah para penjilat memainkan peran. Mereka adalah sales profesional. Ahli memoles citra, menutup borok, dan mengoleskan balsam pada luka demokrasi. Mereka bisa menjual kegagalan sebagai prestasi, dan mengubah ketololan menjadi “keputusan strategis.”

Penjilat: Spesies Paling Subur di Era Demokrasi

Dalam ekosistem kekuasaan, penjilat adalah makhluk omnivora. Mereka bisa makan apa saja: dari pujian murahan sampai ide absurd demi mengangkat citra tuan-nya. Mereka pandai membaca situasi, tahu kapan harus tepuk tangan dan kapan harus pura-pura menangis saat pidato.

Contohnya banyak. Ada penjilat yang begitu semangat mendukung kebijakan pemimpin meski tahu itu salah arah. Ada yang rela tidur di depan kantor partai agar terlihat setia. Ada juga yang bela-belain membuat video TikTok dengan backsound heroik demi membela kebijakan menaikkan harga sembako.

Lucunya, para penjilat ini sering lebih berkuasa dari rakyat biasa. Mereka punya akses ke telinga pemimpin. Mereka bisa membisiki apa saja, dari pujian hiperbola sampai kritik yang dibungkus parfum wangi. Akibatnya? Pemimpin lebih percaya pada penjilat daripada suara rakyat.

Demokrasi Jadi Dagelan

Ketika para penjilat menguasai ruang publik, demokrasi kehilangan maknanya. Lihat saja debat politik di televisi. Isinya bukan lagi adu gagasan, tapi ajang lomba memuji bos masing-masing. Yang satu menyebut bosnya “visioner,” yang lain bilang “pemimpin langka,” dan satunya lagi menyebut “pemimpin titisan langit.” Kalau begini terus, kita tinggal tunggu ada yang menyebut “pemimpin reinkarnasi Dewa Wisnu.”

Padahal, rakyat menunggu solusi, bukan puisi. Tapi para penjilat lebih suka tampil bak penyair dalam festival kampanye. Mereka melantunkan janji, memoles realita, dan menggiring opini publik agar percaya bahwa semua baik-baik saja — bahkan ketika harga cabai naik, jalan berlubang, dan korupsi makin gila-gilaan.

Demokrasi menjadi dagelan. Rakyat tertawa getir, bukan karena lucu, tapi karena lelah. Kita seperti menonton sinetron yang alurnya bisa ditebak: tokoh jahat selalu punya kekuasaan, tokoh baik selalu jadi korban, dan tokoh penjilat selalu punya screen time lebih banyak.

Ketika Rakyat Jadi Figuran

Dalam demokrasi ideal, rakyat adalah tokoh utama. Tapi di negeri ini, rakyat hanya figuran. Muncul lima tahun sekali saat pemilu, lalu menghilang dari layar. Mereka hanya diminta datang, nyoblos, lalu pulang. Setelah itu, suara mereka tenggelam di tengah hiruk-pikuk elit yang sibuk bagi-bagi jabatan dan proyek.

Para penjilat mengambil alih narasi. Mereka bicara atas nama rakyat, padahal yang mereka perjuangkan hanya kursi dan posisi. Mereka mengklaim tahu apa yang rakyat butuhkan, meskipun jarang menyapa rakyat kecuali saat selfie kampanye.

Contohnya bisa kita lihat dari cara mereka merespons kritik. Begitu ada rakyat bersuara, langsung dibilang “tidak tahu apa-apa.” Begitu ada aktivis bersuara, langsung dicap “merusak stabilitas.” Demokrasi yang seharusnya membuka ruang dialog justru dikunci oleh kata-kata penjilat yang sok tahu.

Kampanye, Ajang Menjual Diri dengan Harga Tinggi

Musim kampanye adalah masa panen bagi para penjilat. Mereka mendadak jadi ahli branding, tukang sulap, dan motivator. Mereka mengatur lighting saat sang calon berpidato, memilih latar lagu yang mengharukan, dan menyusun narasi agar terlihat pro-rakyat. Padahal, narasinya cuma daur ulang dari pemilu sebelumnya.

Poster kampanye penuh dengan wajah yang dipoles hingga nyaris tak dikenali. Slogan-slogan klise seperti “Bersama Rakyat”, “Untuk Perubahan”, atau “Demi Keadilan” bertebaran di mana-mana, padahal isinya nihil substansi. Ini bukan lagi soal visi, tapi soal siapa yang punya tim penjilat paling kreatif di media sosial.

Ada yang lebih lucu: saat tim sukses menyewa buzzer untuk menyerang lawan politik. Para penjilat digital ini ahli membuat trending topic. Mereka bisa mengubah kesalahan fatal menjadi “kesalahan teknis,” bisa mengemas janji kosong sebagai “program jangka panjang.”

Demokrasi di Era Medsos, Penjilat Naik Kelas

Di era media sosial, penjilat punya panggung baru. Mereka tak lagi harus berada di lingkaran kekuasaan secara fisik. Cukup punya akun, bisa edit video, dan tahu algoritma, maka jadilah mereka influencer politik.

Mereka bikin konten heroik, potong-potong pidato pemimpin, lalu tambahkan efek dramatis. Komentarnya penuh pujian, “luar biasa,” “pemimpin masa depan,” “kami bangga punya presiden seperti ini.” Kalau ada kritik? Langsung dibalas dengan emosi, “dasar haters,” “anti-pemerintah,” “komunis berkedok oposisi.”

Kehadiran penjilat medsos ini memperkuat ilusi demokrasi. Mereka membuat seolah-olah pemerintah sangat dicintai, padahal survei internal bisa berkata sebaliknya. Mereka mempermainkan data, memoles persepsi, dan membuat rakyat bingung mana realita, mana sinetron.

Pendidikan Politik, Ditekan, Biar Nggak Ribut

Lucunya, saat rakyat mulai sadar dan belajar politik, para penjilat malah resah. Mereka akan bilang, “nggak usah ribet, biar yang pintar yang ngurusin negara.” Padahal, semakin rakyat melek politik, semakin susah para penjilat beraksi.

Maka muncullah program-program yang katanya edukatif, tapi ujung-ujungnya hanya untuk mengarahkan opini ke satu kubu. Seminar demokrasi diubah jadi forum puja-puji. Diskusi politik disusupi narasumber penjilat yang kerjaannya mengalihkan isu.

Pendidikan politik kita kini hanya sampai pada level: tahu siapa calon, tahu kapan nyoblos, dan tahu cara tidak protes. Lebih dari itu? Nanti dibilang makar.

Penjilat dan Bahaya Masa Depan

Masalah terbesar dari penjilat adalah: mereka tidak peduli masa depan bangsa. Yang mereka pedulikan cuma posisi hari ini. Mereka adalah penumpang gelap demokrasi yang hanya mencari keuntungan pribadi. Mereka tak peduli apakah negeri ini akan jadi lebih baik atau tidak.

Kalau mereka diberi kuasa, maka demokrasi berubah menjadi monarki jilat-jilatan. Di mana kekuasaan diwariskan bukan karena prestasi, tapi karena kedekatan dan loyalitas. Di mana kebijakan dibuat bukan untuk rakyat, tapi untuk menjaga kursi.

Dan ini berbahaya. Sebab bangsa besar bisa hancur bukan karena serangan luar, tapi karena pembusukan dari dalam. Dan para penjilat adalah virus dalam tubuh demokrasi kita. Mereka menyebar pelan-pelan, mematikan sistem imun berupa kritik dan logika, lalu mengambil alih organ kekuasaan.

Jalan Keluar: Satir, Kritik, dan Akal Sehat

Lalu apa yang bisa kita lakukan? Kita bisa mulai dengan tidak diam. Satir adalah senjata. Humor adalah peluru. Kritik adalah napas demokrasi. Kita harus terus berbicara, menertawakan keanehan ini, dan membuka mata publik.

Kita perlu lebih banyak komedian yang kritis, seniman yang berani, dosen yang vokal, dan rakyat yang tak mudah ditipu brosur. Kita harus mendidik generasi muda agar tahu bahwa demokrasi bukan soal ikut tren, tapi soal tanggung jawab.

Dan yang paling penting: jangan jadi penjilat. Sebab bangsa ini sudah kelebihan stok penjilat, dan kekurangan stok pemimpin jujur.

Epilog: Demokrasi Tak Bisa Bertahan Sendiri

Demokrasi bukan sistem yang bisa bertahan sendiri. Ia butuh rakyat yang kritis, pemimpin yang jujur, dan lingkungan yang sehat. Jika demokrasi dikuasai oleh para penjilat, maka kita hanya punya kediktatoran dengan kemasan demokratis.

Sudah saatnya kita bertanya: apakah kita mau hidup dalam demokrasi yang dijalankan oleh para penjilat, atau kita mau merebut kembali demokrasi itu dari tangan mereka?

Karena jika tidak, kelak anak cucu kita akan membaca buku sejarah dan bertanya, “Kenapa kakek dulu diam saja saat demokrasi dijual murah di pasar penjilatan?”

Dan satu-satunya jawaban yang pantas hanyalah: “Karena kakek waktu itu masih sibuk like postingan buzzer.”

*Pengarang novel, pemerhati sosial dan budaya, esais, dan cerpenis 

ikuti terus update berita rmoljatim di google news