Demokrat Pasca Ibu Ani Yudhoyono

LANGIT Singapura cerah saat memasuki 10 hari terakhir ramadhan 1440 H dan saat itulah umat muslim menunggu turunnya Lailatul Qadar, dimana seorang ibu dengan dua anak dan empat cucu berbaring melawan penyakitnya.


Innalillahi wa Innalillahi roji’un, seluruh negeri dikagetkan dengan berita telah berpulang mantan ibu negara Ani Yudhoyono pada tanggal 1 Juni 2019 di Singapura. Ditemani sang suami SBY serta putra-putri dan cucu-cunya, ibu Ani demikian panggilannya telah menghembuskan nafas terakhir.

Seluruh rakyat Indonesia berduka atas kepergian ibu Ani Yudhoyono dan media sosial langsung dipenuhi dengan berbagai macam doa sebagai rasa bela sungkawa atas kepergian sang mantan ibu negara sambil mengenang kiprahnya selama ini sebagai istri, ibu negara dan sebagai keluarga besar Partai Demokrat.

Kepergian ibu Ani Yudhoyono tepat pada saat Indonesia selesai menyelenggarakan pesta demokrasi yang pertama, dimana pemilu legislatif dan pilpres 2019 berbarengan.

Kepergian ibu Ani Yudhoyono bukan saja meninggalkan kesan mendalam dari rakyat Indonesia, tapi juga bagi keluarga besar Partai Demokrat. Sebab selama keberadaan beliau mendampingi SBY sudah menjadi ibu dari semua kader Partai.

Sosok yang perhatian, tegar dan ramah senyum ini selalu saja memikirkan partai dari mulai berdiri sampai meninggalnya. Hal itu bisa kita lihat dari keberadaanya, dimana ibu Ani Yudhoyono pernah menjadi Wakil Ketua pada pengurusan awal Partai Demokrat.

Perlu diketahui, ibu Ani Yudhoyono memang sosok istri yang senantiasa disamping SBY baik sebagai Presiden maupun paska menjadi Presiden.

Disamping sebagai istri, ibu Ani Yudhoyono juga sebagai ibu dari dua anak yaitu AHY dan Ibas dan beliau selalu mengikuti perkembangan partai dan politik Indonesia.

Hal itu juga karena posisinya sebaga istri SBY sebagai Ketum Partai, baik sebelum sakit, maupun sakit. Para petinggi Partai juga tidak segan selalu mengupdate berita terkini tentang dinamika politik Indonesia kepada beliau.

Sebagai presiden SBY sangat menyadari peran ibu Ani Yudhoyono dalam kepemimpinannya, hal itu pastilah sangat dirasakannya oleh SBY dan keluarganya.

Ketika isu tak sedap menyerang SBY karena nama Kristiani dibelakangnya pada pilpres tahun 2004 dan isu liar keluar dengan bumbu politik, bahwa SBY telah pindah” agama. Padahal nama tersebut diberikan oleh ayahnya Jendral (purn) Sarwo Edhi karena pengagum tokoh pewayangan Kresna.

Kemudian karena lahir seorang wanita kemudian dikasih nama Kristiani --seperti ditulis dalam buku SBY Sang Demokrat”--. Peran ibu Ani Yudhoyono sangat membantu tugas SBY sebagai Presiden, bahkan ibu Ani Yudhoyono juga menggalang istri-istri kabinet dengan membentu Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu (SIKIB), hal ini untuk berperan aktif dalam kegiatan sosial kemasyarakan secara bersama.

Dari hal diatas kita bisa melihat bahwa sebagai istri, ibu Ani Yudhoyono mendapatkan tempat yang istimewa bagi SBY baik sebagai istri dan mantan ibu negara.

Peran Politik

Sebagai istri SBY, ibu Ani Yudhoyono juga sebagai politisi, sebab kelahiran Partai Demokrat juga salah satu perannya. Ibu Ani Yudhoyono hadir sebagai sosok perempuan yang ikut membidani kelahiran Partai Demokrat, jadi tidak salah dalam awal berdirinya posisi ibu Ani Yudhoyono pernah menjabat sebagi Wakil Ketua di Partai Demokrat.

Sebagai istri seorang kepala negara, peran ibu Ani Yudhoyono sangatlah signifikan, sebab disitulah diuji sebagai istri sekaligus peran sertanya politik dalam dirinya.

Dalam persoalan diatas, ibu Ani Yudhoyono sebagai istri sekaligus sebagai perempuan yang mau tidak mau juga ikut terjun dalam politik. Pertanyaannya mengapa perempuan harus menjadi bagian dalam politik, pemerintahan dan pengambilan kebijakan?

Sebab kaum perempuan adalah sosok yang dianggap mengerti permasalahan sesungguhnya dan bagaimana cara penyelesaiannya. Kebanyakan suara aspirasi dari perempuan tidak tersampaikan dalam pembuatan kebijakan di pemerintahan karena perlunya representatif yang menampung aspirasi kaum perempuan.

Eksistensi politik perempuan telah dimiliki dengan porsi wajib sebesar 30 persen di parlemen namun tidak semua tempat yang disediakan itu terisi oleh perempuan. Walaupun saat ini hanya sekitar 10 persen kursi di parlemen yang diisi perempuan.

Mengingat latar belakang sejarah dan kultural tadi serta diperparah dengan konstruksi sosial di  tengah masyarakat memang bisa dikatakan politik adalah hal yang sulit bagi kaum mayoritas yang termarginalisasikan ini.

Dalam hal tersebut perempuan juga sudah banyak menyumbangkan pikirannya dalam kancah politik, sehingga banyak perempuan menjadi kepala daerah, baik bupati/walikota, Gubernur, menteri, bahkan Indonesia pernah memiliki presiden perempuan.

Di Indonesia sendiri pemikiran bahwa perempuan harus menempati posisi kedua setelah laki-laki bukanlah yang baru, hal itu tidak dapat dipungkiri. Meski sudah banyaknya pejuang-pejuang perempuan yang terus mengaspirasikan bahwa stratifikasi gender di era globalisasi ini sudah harus ditiadakan. Negara Indonesia masih sangat minim sekali dalam mengikutsertakan kaum perempuan untuk terjun ke dunia perpolitikan.

Seolah-olah politik hanya milik kaum laki-laki dan seakan-akan hanya kaum lelaki yang mampu untuk mempimpin rakyat. Sedangkan perempuan hanya boleh berperan dibelakang panggung saja.

Perempuan di Indonesia sudah terlalu lama dibiarkan untuk tidak ikut serta berpolitik, sehingga pengalaman laki-laki dalam berpolitik lebih jauh kedepan dibandingkan perempuan. Karena absennya perempuan dalam dunia politik inilah yang menyulitkan bagi perempuan untuk mendapat ruang yang sama dengan laki-laki.

Hal-hal seperti ini disebabkan karena manusia dibentuk oleh budayanya masing-masing yang menekankan bahwa kedudukan perempuan hanya sebatas lingkungan keluarga, seperti mengurus suami, mengurus anak, memasak, serta tugas-tugas domestik lainnya, sehingga urusan - urusan kegiatan politik sering kali di dominasi oleh laki - laki dan membuat perempuan enggan masuk dan turut serta memikirkan urusan negara.

Keberadaan ibu Ani Yudhoyono sebagai ibu negara telah memberikan contoh, dimana perempuan bisa memasuki dunia politik dan hal itu juga ketika menjadi ibu negara (firs lady).

Jadi pembagian kerja berbasis jenis kelamin tidak lagi melandasi terjadinya stratifikasi gender yang membuat perempuan hanya bekerja di sektor domestik, sedangkan laki-laki di wilayah publik.

Pekerjaan di sektor domestik seringkali dianggap lebih rendah daripada pekerjaan di wilayah publik, disamping juga dianggap sebagai pekerjaan yang tidak bernilai secara ekonomi.

Posisi ibu negara, ibu Ani Yudhoyono telah mengispirasi banyak kalangan dengan memiliki ide-ide segar seperti; "Indonesia pintar". Dimana implementasi Indonesia Pintar diwujudkan melalui program mobil pintar, motor pintar, kapal pintar, dan rumah pintar.

Sehingga rakyat punya budaya membaca dan menjadi kebutuhan. Jadi ingat kata Indira Gandhi, bahkan jika saya mati dalam pelayanan bangsa, saya akan bangga. Setiap tetes darah saya akan memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan bangsa ini dan akan membuatnya kuat dan dinamis”.

Hal itu juga diterbitkannya beberapa buku karya ibu Ani Yudhoyono baik sebagai ibu negara atapun setelah menjadi ibu rumah tangga.

Sebagai mantan ibu negara, ibu Ani Yudhoyono telah menginspirasi rakyat dengan tulisannya di buku yang ada dalam sub judul Baca, Baca, dan Baca...” (halaman 349). "Saya cukup membaca dan punya kepedulian untuk menyimak fenomena apa yang tengah hangat di dunia, saya membaca koran, menelusuri isi majalah, saya membaca banyak buku, dan saya gemar berdiskusi.

Sebagai istri SBY, beliau juga punya peranan yang sangat signifikan ditubuh Partai Demokrat yang senantiasa tak lelah sampai beliau wafat.

Hal itu dengan banyaknya beliau melakukan komunikasi lewat WA dengan para kader Demokrat yang selalu mendoakan dan menunggu kesembuahannya. Walaupun akhirnya Tuhan lebih mencintainya dari pada kita yang masih menyayanginya.

Setelah kepergian beliau Partai Demokrat dirundung kesedihan yang luar biasa, sebab peran beliau sebagai istri SBY juga peran beliau sebagai pendiri telah memberikan ruang politik Partai yang mampu berkiprah di skala nasional.

Walaupun ibu Ani Yudhoyono pergi meninggalkan kita semua, tetapi semangat kader Partai Demokrat tak pernah luntur. Partai Demokrat paska ditinggalkan oleh ibu Ani Yudhoyono tidaklah kemudian menjadi terlena.

Bahkan Partai Demokrat diuji dengan manuver para kader dan pendiri yang menamakan Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator (FKPD) Partai Demokrat meminta segera menggelar kongres luar biasa.

Mereka mengatakan bahwa SBY telah gagal dalam kepemimpinannya, tapi mereka lupa bahwa meraka tidak punya legalitas mengadakan KLB dan forum itu juga diisi para pesakitan” politik yang tidak pernah berbuat apa-apa ketika Partai Demokrat diguncang prahara politik.

Bahkan forum ini telah menjadi kepentingan sesaat, karena tidak menggunakan cara yang konstitusional. Yang menarik dari forum tersebut juga ada yang pernah menjadi tersangka dalam kasus korupsi.

Hal itu diperjelas oleh Sekjen Partai Demokrat yang memberi penjelasan tentang keberadaan KOGASMA yang dipersoalkan. Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan mengatakan anggota Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat tidak memiliki hak suara untuk mengusulkan Kongres Luar Biasa (KLB) dan mengevaluasi posisi Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di pucuk pimpinan.

Hal itu ditegaskan soal permintaannya KLB, pertama, itu tidak berdasar dan tak ada alasannya. Sebab dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai Demokrat, gelaran KLB bisa dilaksanakan bila ada persetujuan dari Majelis Tinggi Partai atau dari dua pertiga Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan setengah (Dewan Pimpinan Cabang) DPC seluruh Indonesia.

Sementara Forum Pendiri Partai Demokrat tersebut sebagai wadah yang tak dikenal dalam AD/ART Demokrat untuk mengusulkan digelarnya KLB.

Politik itu memang dinamis, tapi manuver politik yang hanya bertujuan untuk kepentingan sesaat tidak akan mampu menjadi daya tarik bagi seluruh kader Partai Demokrat. Ani Yudhoyono adalah sosok yang tidak bisa dipisahkan dengan Partai Demokrat.

Jadi Partai Demokrat paska meninggalnya ibu Ani Yudhoyono tidaklah berubah, tetapi akan lebih solid dalam menghadapi dinamika politik Indonesia kedepan.

Seluruhl kader telah bersatu siap melawan oknum politisi partai yang menggunakan nama Demokrat sebagai cara yang jahat dalam merusak nama Partai Demokrat dan tidak bertanggung jawab.

Jadi ingat kata Eleanor Roosevelt (stri presiden Amerika Serikat, Franklin Delano Roosevelt) Belajarlah dari kesalahan orang lain. Kau tidak bisa hidup lama untuk melakukan semua kesalahan itu.

Tidak sekedar menjadi sosok perempuan yang hanya memiliki posisi tertentu, namun kiprah perempuan masa kini dalam dunia politik sudah menunjukkan perubahan yang cukup signifikan melaui kepedulian yang besar dalam pemerataan pembangunan didaerah-daerah perbatasan dan juga pedalaman.

Selamat jalan bu Ani Yudhoyono dan menghadaplah sang khaliq dengan husnul khotimah dan saya jadi teringat akan kata-kata Amelia Earhart seorang pelopor penerbangan dan penulis Amerika, Perlu diketahui bahwa saya sadar resiko bahaya.

Saya melakukannya karena saya ingin melakukannya. Perempuan harus mencoba untuk melakukan hal-hal sebagaimana sudah dicoba oleh laki-laki. Kalaupun gagal, kegagalan itu harus menjadi tantangan untuk perempuan lain”.

Himawan Sutanto
Aktivis Prodem, Alumni ISI Yogjakarta dan Seniman Indonesia

ikuti terus update berita rmoljatim di google news