Pemanfaatan bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi selama ini belum sesuai dengan prinsip keadilan karena angka konsumsi didominasi masyarakat mampu.
- Indef: Keuangan Negara Surplus, Tapi Kontraproduktif
- Riset Tokopedia dan INDEF: Inisiatif Hyperlocal Dorong Indeks Penjualan UMKM Surabaya Hingga 194 Persen
- Catatan Indef: Nilai Tambah Ekspor Indonesia Sebagian Besar Dinikmati China
"80 persen Pertalite dan 95 persen Solar dikonsumsi oleh kelompok masyarakat mampu, sehingga tidak sesuai dengan prinsip distribusi dan keadilan," kata Direktur Riset Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Berly Martawardaya dalam keterangannya kepada wartawan, Rabu (7/9).
Selain itu, kompensasi sebesar Rp 18,5 triliun dalam APBN 2022 juga dirasa tidak cukup untuk menjaga harga Solar dan Pertalite. Alokasi untuk subsidi BBM pun diperkirakan memerlukan tambahan sebesar Rp 195,6 triliun meski sudah ditambah menjadi Rp 252,4 triliun melalui Peraturan Presiden 98/2022.
"Anggaran kompensasi BBM Rp 448,1 triliun mendekati 15 persen APBN 2022 alias melebihi semua kategori belanja lain, kecuali pendidikan," sambungnya.
Kini, tantangan bagi pemerintah dan pembuat kebijakan adalah mencari dan mengambil opsi dengan dampak negatif paling sedikit atau least worse.
"Dengan pertumbuhan kuartal II-2022 menembus 5,4 persen dan terjadi deflasi 0,2 persen pada Agustus, saat ini opsi kebijakan yang least worse adalah realokasi subsidi BBM dengan meningkatkan alokasi perlindungan sosial dan kebijakan mitigasi dampak," tandasnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- BBM Naik Lagi, Shell Super Rp 15.380 dan Pertamax Rp 14.000
- Indef: Keuangan Negara Surplus, Tapi Kontraproduktif
- Riset Tokopedia dan INDEF: Inisiatif Hyperlocal Dorong Indeks Penjualan UMKM Surabaya Hingga 194 Persen