- Bom Bunuh Diri Mapolsek di Bandung Contoh Deradikalisasi Gagal
- Dedi Mulyadi Gubernur Konten
- Peluang Masih Ada, Tetap Dukung Garuda!
INFLASI di berbagai negara meningkat tajam, menebar ancaman baru bagi ekonomi dunia yang belum pulih sepenuhnya dari resesi pandemi covid-19.
Amerika Serikat mencatat inflasi 6,2 persen secara tahunan pada Oktober 2021, dibandingkan Oktober 2020 (Year on Year, YoY). Tingkat inflasi ini merupakan yang tertinggi selama 30 tahun terakhir.
Inflasi adalah kenaikan harga untuk sekelompok barang konsumsi yang tercermin di dalam Indeks Harga Konsumen (IHK). Selain inflasi barang konsumsi, inflasi lainnya adalah inflasi harga produksi yang dinamakan Producer Price Index (PPI) atau Indeks Harga Produsen (IHP). Yaitu, kenaikan harga (atau biaya) produksi di tingkat produsen.
Kenaikan biaya produksi akan membebani daya beli masyarakat, dan akan membebani ekonomi secara keseluruhan. Karena para produsen pada umumnya akan membebani kenaikan biaya produksi tersebut kepada masyarakat, sehingga harga-harga barang akan naik.
Kalau pasar belum bisa menyerap kenaikan biaya produksi ini, maka produsen yang akan menanggungnya. Laba perusahaan berkurang. Dalam kondisi ekonomi yang masih lemah, banyak perusahaan akan rugi akibat kenaikan biaya produksi ini.
Inflasi harga produsen Amerika Serikat pada Oktober 2021 juga sangat tinggi, mencapai 8,6 persen (YoY). Inflasi biaya produksi ini mendekati inflasi tertinggi pada awal 2008, ketika terjadi gelembung ekonomi yang mengakibatkan krisis finansial global 2007-2008.
Kenaikan biaya produksi bukan saja terjadi di Amerika Serikat, tetapi juga terjadi di semua negara maju, serta juga terjadi di China sebagai negara produsen dan eksportir terbesar dunia.
Kenaikan biaya produksi di China bahkan jauh lebih besar dari Amerika Serikat. Inflasi biaya produksi pada Oktober 2021 tercatat 13,5 persen, menjadi yang tertinggi selama 26 tahun terakhir, sejak pertengahan 1995.
Data inflasi yang meningkat tajam tersebut menimbulkan dua pertanyaan besar. Pertama, mengapa inflasi biaya produksi bisa naik begitu tinggi di tengah pertumbuhan ekonomi dunia yang belum pulih sepenuhnya?
Kedua, apa konsekuensi kenaikan inflasi yang begitu tinggi terhadap ekonomi dunia dan Indonesia?
Pandemi covid-19 menyeret ekonomi dunia masuk resesi sejak awal 2020. Untuk melawan resesi tersebut hampir semua negara di dunia memberlakukan stimulus fiskal dan stimulus moneter yang sangat agresif, sejak Maret 2020.
Bank sentral terkemuka dunia seperti the FED (Federal Reserve), BOE (Bank of England), dan ECB (European Central Bank) menurunkan suku bunga acuan mendekati nol persen dalam hitungan hari.
Tidak berhenti di situ, bank sentral terkemuka tersebut juga memberlakukan Quantitative Easing secara agresif untuk membanjiri likuiditas, dengan membeli surat berharga pemerintah yang dipegang oleh sektor keuangan.
Akibat stimulus moneter ini sangat luar biasa. Harga komoditas melonjak di tengah resesi. Harga rata-rata bulanan minyak mentah (WTI) naik 185 persen dalam sembilan bulan, terhitung April 2020 hingga Desember 2020.
Harga batubara, minyak kelapa sawit dan karet masing-masing naik 42 persen, 67 persen dan 75 persen. Sedangkan permintaan dunia terhadap komoditas tersebut masih stagnan di tengah resesi.
Harga komoditas lanjut meroket pada 2021. Harga rata-rata bulanan minyak mentah dunia naik 333 persen pada September 2021 dibandingkan April 2020.
Harga batubara naik 217 persen dan harga minyak kelapa sawit naik 94 persen, untuk periode yang sama. Kenaikan harga komoditas yang tinggi ini membuat biaya produksi naik: indeks harga produsen naik.
Penjelasan di atas menggambarkan secara jelas bahwa kebijakan stimulus moneter dan Quantitative Easing sebagai upaya untuk mengatasi resesi ekonomi pandemi 2020, malah mengakibatkan harga komoditas melonjak, dan menyebabkan inflasi tinggi.
Kenaikan harga komoditas ini terjadi di tengah ekonomi masih lemah dan belum pulih sepenuhnya, serta tingkat pengangguran masih relatif tinggi. Kondisi seperti ini, yaitu di mana inflasi tinggi dan tingkat pengangguran juga tinggi, dinamakan stagflasi dan menjadi ancaman mengerikan bagi ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.
Pada umumnya, tingkat pengangguran dan inflasi mempunyai korelasi negatif. Artinya, kalau tingkat pengangguran tinggi, daya beli lemah, maka inflasi rendah, atau bahkan deflasi seperti terjadi pada awal resesi 2020. Sebaliknya, kalau tingkat pengangguran rendah, daya beli relatif kuat, maka inflasi cenderung meningkat.
Kondisi umum tersebut tidak berlaku kalau inflasi disebabkan oleh kenaikan biaya produksi, atau cost-push inflation, seperti yang sekarang sedang terjadi melalui kenaikan harga komoditas minyak mentah, batubara, serta komoditas pangan dan mineral lainnya, yang disebabkan oleh stimulus moneter dan Quantitative Easing yang berlebihan.
Kalau kondisi ini dibiarkan terus berjalan, maka stagflasi tahun 1970-an bisa terulang. Harga minyak mentah tahun 1970-an naik dari sekitar 3 dolar AS per barel pada akhir 1972 menjadi 35 dolar per barel pada 1981, membuat biaya produksi naik di tengah tingkat pengangguran yang relatif tinggi.
Kondisi ekonomi saat ini bisa menuju stagflasi kalau Quantitative Easing terus berlanjut dalam jumlah masif seperti sekarang, membuat harga komoditas masih terus naik, dan memicu biaya produksi dan harga konsumen naik lebih tinggi.
Perlu menjadi catatan bahwa harga komoditas saat ini masih jauh di bawah harga tertinggi pada pertengahan 2008 atau awal 2011. Artinya, bahaya kenaikan harga komoditas masih sangat riil.
Untuk mengatasi kenaikan harga komoditas dan inflasi, bank sentral dunia diperkirakan akan mengambil kebijakan koreksi dengan mengurangi jumlah stimulus Quantitative Easing, dan secara perlahan-lahan menaikkan suku bunga acuan.
Sebagai konsekuensi, kenaikan suku bunga dan pengetatan moneter akan menghambat pertumbuhan ekonomi yang memang belum pulih sepenuhnya.
Varian baru virus omicron menambah kompleksitas pemulihan ekonomi, berpotensi membawa ekonomi dunia masuk resesi kembali. Pembatasan sosial dan mobilitas domestik dan internasional diperketat.
Perkembangan ekonomi dunia saat ini tidak menguntungkan bagi Indonesia yang dalam posisi serba sulit.
Kalau kebijakan Quantitative Easing berlanjut, inflasi akan meningkat, ekonomi Indonesia akan stagnan dan cenderung resesi. Inflasi di Indonesia akan naik tajam. Karena harga bahan bakar domestik akan naik, harga bahan baku impor melonjak, sehingga mendongkrak biaya produksi dan harga barang jadi.
Saat ini, kenaikan harga beberapa bahan pokok pangan sudah terjadi. Harga minyak goreng sudah naik lebih dari 60 persen, menuju 100 persen atau lebih, dan sudah tembus batas Harga Eceran Tertinggi (HET).
Aneh tapi nyata. Pengusaha minyak goreng boleh melanggar HET. Tetapi, pengusaha komoditas lainnya, seperti beras atau gula, jangan pernah coba-coba melanggar HET. Karena bisa bernasib naas, ditangkap dan dipenjara.
Semua ini seperti menjadi contoh nyata di mana kebijakan untuk oligarki bisa disesuaikan menurut keperluan, meskipun melanggar peraturan. Sedangkan kebijakan untuk petani, peraturan harus tegak. Ini yang dinamakan hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah?
Sebaliknya, kalau kebijakan koreksi moneter terjadi: Quantitative Easing dihentikan dan suku bunga acuan bank sentral naik, maka ekonomi Indonesia akan melambat, dan berpotensi masuk resesi.
Pertama, kebijakan koreksi ini akan membuat harga komoditas andalan ekspor Indonesia turun, membuat defisit neraca transaksi berjalan melebar, membuat kurs rupiah tertekan.
Untuk menahan laju aliran dolar ke luar negeri (capital outflow), Bank Indonesia akan menaikkan suku bunga acuan sebagai respons atas kenaikan suku bunga bank sentral lainnya. Semua ini membuat ekonomi tertekan.
Permasalahan Indonesia bertambah kusut karena kenaikan tarif PPN dan perluasan barang kena pajak yang menyasar bahan pokok pangan, jasa kesehatan dan jasa pendidikan tertentu akan diberlakukan pada April tahun depan.
Kenaikan PPN ini akan membebani daya beli masyarakat dan memicu inflasi. Di lain sisi, tekanan harga komoditas akan membuat pendapatan negara dari pajak dan bukan-pajak akan turun, membuat stimulus fiskal menjadi lebih terbatas.
Dengan kata lain, masa depan ekonomi Indonesia terlihat cukup suram. Mencemaskan. Resesi mengintai.
Penulis adalah Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS)
ikuti terus update berita rmoljatim di google news