Mahasiswa Asli Atau Disusupi OPM?

TIDAK akan ada asap jika tidak ada api. Kericuhan asrama mahasiswa Papua di Jalan Kalasan, Surabaya, banyak kalangan menduga hal ini tidak terjadi secara alami. Melainkan by design.


Badan Intelijen Negara (BIN) sebelumnya bahkan telah mengantongi beberapa kelompok yang ditengarai sebagai aktor di balik rusuhnya Papua dan Papua Barat.

Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) juga mencium hal yang sama. Saat pecahnya kerusuhan di Fakfak, ternyata hanya dimotori oleh sekelompok provokator.

Bisa jadi kerusuhan di Surabaya juga demikian. Ada provokatornya.

Pada Jumat (16/8) malam, massa yang tergabung dalam gabungan ormas melaporkan adanya penistaan lambang negara yakni pembuangan bendera Merah Putih. Namun karena tidak ada tanggapan dari mahasiswa Papua atau Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) di Surabaya, muncullah aksi penyerangan hingga disebut-sebut sebagai aksi rasis.

Buntutnya, orang-orang yang membela NKRI saat aksi, kini telah diperiksa. Bahkan sudah ada yang sudah ditetapkan tersangka dengan Pasal 45A ayat 2 juncto Pasal 28 ayat 2 UU 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan/atau Pasal 4 UU 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Rasis dan Etnis dan/atau Pasal 160 KUHP dan/atau Pasal 14 ayat 1 dan/atau ayat 2 dan/atau Pasal 15 KUHP.

Tidak hanya itu, Danramil Tambaksari juga dinonaktifkan, dan empat anakbuahnya diskors.

Ya, semua ini disebabkan laporan tanpa fakta. Karena ada provokator tadi. Sementara sang provokator menghilang, atau jangan-jangan masih bersembunyi di dalam asrama mahasiswa.

Hingga kejadian pada Selasa (28/8) malam. Gubernur Provinsi Papua Lukas Enembe langsung ditolak kedatangannya oleh mahasiswa. Salah satu penghuni asrama menunjuk spanduk di pagar bertuliskan 'Siapapun yang datang kami tolak'.

Para penghuni asrama juga menggebrak gerbang asrama, dan mengusir Lukas. Yang tidak habis pikir, mereka meneriakkan yel-yel agar Lukas Enembe melepaskan Garuda kalau mau masuk ke asrama.

"Lepas Garuda dulu kalau ke sini, lepas Garuda," teriak mereka.

Selain melepas Garuda, penghuni asrama juga menyanyikan lagu "kami bukan Merah putih, Papua Bintang Kejora", Papua merdeka, solusi referendum (referendum is solution), dan kami bukan monyet.

Masalah Papua di Surabaya semakin terang benderang. Bukan soal rasis, sebab rasis hanya bungkusnya saja. Ini masalah dasar yang selama dituntut provokator, yakni kemerdekaan Papua.

Provokatornya, jangan-jangan memang sedang bersembunyi di dalam asrama.

Namun, mereka belum tentu mahasiswa seperti yang dikatakan Lukas Enembe. Sebab mahasiswa asli tidak berprilaku demikian. Mahasiswa Papua di Jawa Timur selama ini tetap merasa menjadi bagian dari NKRI.

Lihat saja saat para rektor perguruan tinggi di Jawa Timur maupun Forkopimda melakukan mediasi dengan para pelajar dan mahasiswa asal Papua, mereka sampai detik ini tetap mengakui kedaulatan NKRI.

Lalu siapa penghuni asrama mahasiswa di Jalan Kalasan, Surabaya, yang meneriakkan yel-yel referendum? Bisa jadi mereka dari Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang disusupkan ke asrama. Bukankah selama ini OPM yang paling getol meneriakkan referendum.  

Kehadiran mereka mencari celah untuk membuat kekacauan di Surabaya sehingga memicu pergolakan di Papua dan Papua Barat.

Mereka sengaja mengajak perang, menghasut, membuat tipu muslihat dan tipu daya, dengan meminta Garuda lepas, menyanyikan lagu "kami bukan Merah putih, Papua Bintang Kejora", Papua merdeka, dan solusi referendum (referendum is solution). Jelas sekali ini bukan pekerjaan mahasiswa.

Bu Gubernur harus segera bertindak, mereka bukan mahasiswa.
Pak Kapolda harus segera bertindak, mereka bukan mahasiswa.
Pak Pangdam harus segera bertindak, mereka bukan mahasiswa.
Bu Walikota harus segera bertindak, mereka bukan mahasiswa.
Pak Kapolrestabes harus segera bertindak, mereka bukan mahasiswa.

Apa yang dituntut penghuni di asrama mahasiswa bertujuan mencari rusuh. Sementara aksi mereka bisa dikatogorikan dalam perbuatan makar.

Ya, ada banyak pasal yang menyebutkan soal makar. Pasal 106 menyebutkan makar dengan maksud supaya seluruh atau sebagian wilayah negara jatuh ke tangan musuh atau memisahkan sebagian dari wilayah negara, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara sementara paling lama dua puluh tahun.

Pasal 107 b (UU No.27/99) menyebutkan barangsiapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti Pancasila dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Selain itu diatur juga kasus makar terkait ketentuan wilayah tertentu. Yaitu Pasal 139a bahwa makar dengan maksud melepaskan wilayah atau daerah lain dari suatu negara sahabat untuk seluruhnya atau sebagian dari kekuasaan pemerintah yang berkuasa di situ, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.

Pasal 139b bahwa makar dengan maksud meniadakan atau mengubah secara tidak sah bentuk pemerintahan negara sahabat atau daerahnya yang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

Sementara dalam Pasal 88 KUHP, pemufakatan jahat dianggap ada bila dua orang atau lebih bermufakat.

Dalam Pasal 88 dikatakan ada permufakatan jahat, bila dua orang atau lebih telah sepakat untuk melakukan kejahatan. (KUHP 110, 111 bis, 116, 125, 164, 169 dst., 184 dst., 214, 324 dst., 363,:365, 368 dst., 438 dst., 450 dst., 457 dst., 462, 504 dst.)

Pasal 88 bis yang dimaksud dengan penggulingan pemerintah ialah peniadaan atau pengubahan secara tidak sah bentuk pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. (KUHP 107 dst., 111 bis.)

Bagaimana pun, semua kompleksitas permasalahan Papua kini tergantung kelihaian pemimpinnya. Masalah Papua faktanya sudah jelas, akar permasalahan sudah jelas. Maka, penyelesaiannya juga harus dilakukan secara komprehensif, integral dan holistik (KIH).

Ingat, sekali lagi ini bukan masalah rasis.

Noviyanto Aji
Wartawan

 

ikuti terus update berita rmoljatim di google news