Presiden Joko Widodo tidak sepantasnya mempublikasikan kemarahan dan kejengkelannya kepada para menteri Kabinet Indonesia Maju, apalagi sampai dilihat seluruh rakyat Indonesia.
- Sampaikan Ucapan Selamat ke Jenderal Andika, AHY: Semoga Bisa Terus Mendorong Transformasi TNI
- Produk Usaha dan Kantin di Kemenag Kini Harus Bersertifikat Halal
- Eri Cahyadi Berangkatkan Warga Surabaya Ziarah Wali Lima di HUT Partai Golkar ke 60
Ketua Presidium Perhimpunan Masyarakat Madani (Prima), Sya'roni menduga bahwa Presiden Jokowi ingin melempar tanggungjawab.
"Muncul kesan, Presiden Jokowi ingin melempar tanggungjawab atau cuci tangan," kata Sya'roni dilansir Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (4/7).
Lanjut Sya’roni, para menteri tidak pantas untuk disalahkan karena sejak awal tidak ada visi misi menteri, yang ada visi misi presiden.
"Menteri adalah bawahan Presiden. Seharusnya Presiden lah yang memikul tanggung jawab tertinggi. Istilahnya, tidak ada salah prajurit, yang ada salah komandannya. Atau, ing ngarso sung tulodo," ujar Sya'roni.
Dan mempermalukan para bawahan bahkan mengancam reshuffle sejatinya bukan ciri negarawan.
Kalau memang Presiden Jokowi sudah merasa menterinya tidak kapabel, maka sebaiknya langsung direshuffle saja, tidak perlu mengancam atau mempermalukannya di hadapan publik.
"Pada periode kedua ini, idealnya Presiden Jokowi tidak salah lagi dalam memilih menteri. Pengalaman pada periode pertama bisa dijadikan pembelajaran untuk perbaikan di periode kedua," terang Sya'roni.
Kemarahan Jokowi membuktikkan Jokowi belum memahami kapasitas para bawahannya. Atau bisa juga Jokowi tidak belajar dari periode pertamanya.
"Misalnya pada periode pertama, pertumbuhan ekonomi selama 5 tahun tidak memenuhi target, namun menterinya masih dipertahankan. Berarti ini salah Jokowi sendiri," sebut alumnus UIN Syarief Hidayatullah Jakarta ini.
Apalagi, lanjut Sya'roni, kemarahan Jokowi beberapa waktu lalu tidak menyebut secara spesifik menteri mana yang kerjanya biasa-biasa saja. Tidak adanya penyebutan secara spesifik akhirnya menggiring publik untuk membuat dugaan atau kesimpulan semaunya.
"Contohnya, kemarahan Jokowi atas lambatnya pencairan insentif untuk tenaga medis. Dugaan publik bisa tertuju kepada dua kementerian yang terkait yaitu Menteri Kesehatan dan Menteri Keuangan. Mestinya Jokowi cukup memanggil keduanya, mengurai dimana permasalahannya. Bila terbukti tidak kapabel, maka bisa langsung direshuffle. Tidak perlu marah-marah di depan publik," tutupnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Pemasangan Baliho HRS di Madura, Gus Yasin: Itu 'Kode' untuk NU
- KTT G20 Diharapkan jadi Momentum Perkuat Ekonomi Hijau
- Terpilih Sebagai Presidium KAHMI Jatim, Dokter Agung Mulyono Tancap Gas Majukan UMKM