Menyusuri Jejak Nash di Tanah Melayu

Jembatan Barelang/Ist
Jembatan Barelang/Ist

HARI ini tanggal 23 Mei, dunia mengenang wafatnya John Forbes Nash Jr., matematikawan jenius yang mengubah cara manusia melihat dunia.  

Dari kehidupan yang penuh kegelisahan, Nash mewariskan kepada kita konsep yang dalam dan indah: Nash Equilibrium -- keseimbangan yang dicapai bukan dengan dominasi, tetapi dengan saling mempertimbangkan. Dalam dunia yang serba kompetitif, Nash membisikkan kemungkinan bahwa semua pihak bisa untung tanpa harus saling mengalahkan.

Tahun ini, saat peringatan wafatnya Nash datang kembali, saya sedang merenungkan satu hal penting yang terjadi di tanah melayu: Rempang, bagian dari gugus Barelang (Batam, Rempang, Galang), yang disebut dalam rencana pemerintah sebagai Kawasan Transmigrasi.

Saya adalah seorang Melayu tulen -- bukan hanya lahir di tanah Melayu, tetapi juga tumbuh dalam tradisi, nilai, dan warisan adabnya. Keluarga saya mengidolakan para ulama Islam dari tanah Melayu, dari Syekh Abdus Samad Al-Palimbani hingga Ustaz Abdul Somad (UAS). 

Maka, saat saya mendengar tentang rencana besar pemerintah di kawasan ini, hati saya terusik. Bukan oleh amarah atau dukungan membabi buta, tapi oleh tanggung jawab moral dan spiritual.

Saya tidak ingin langsung setuju, apalagi menolak. Maka saya memilih jalan yang diajarkan para ulama: husnudzon -- berbaik sangka, dan mencari ilmu sebelum mengambil sikap.

Saya mendengar langsung paparan Menteri Transmigrasi di Gedung DPR pada 13 Februari 2025. Saya mulai mendalami konsep yang disampaikan, mewawancarai tim yang merancangnya, dan terus menggali. 

Hingga akhirnya, saya menyusul terbang ke Rempang melalui Batam untuk dapat mengikuti kunjungan lapangan Menteri Transmigrasi ke Pulau Rempang pada Jumat, 18 April 2025. 

Di sana saya menyaksikan langsung wajah-wajah masyarakat, mendengar harapan dan kecemasan mereka, serta melihat pendekatan pemerintah yang berusaha hadir sebagai penengah dan pemantik sinergi.

Saya tidak mengatakan semuanya sempurna. Tapi saya juga tidak bisa menutup mata bahwa ada itikad baik yang sedang bekerja?"sebuah kerangka yang jika dijalankan dengan adil, bisa menjadi jalan damai antara masa lalu dan masa depan.

Saya melihat Nash Equilibrium bekerja dalam bentuk nyata:

Di mana masyarakat lokal tidak diabaikan, tapi diajak ikut merancang.

Transmigran tidak sekadar dipindahkan, tapi diberdayakan.

Investor tidak dilepas bebas, tapi diikat dalam kepastian sosial dan hukum.

Dan negara tidak tampil sebagai penguasa, melainkan sebagai penjaga keseimbangan.

Saya tidak menulis ini untuk mengajak saudara-saudara saya sesama Melayu agar menolak atau mendukung secara membuta. Saya justru ingin mengajak merenung bersama:

"Apakah mungkin kita membangun sesuatu yang besar, sembari saling memuliakan?

Apakah mungkin pembangunan dan kearifan lokal bisa berjalan beriringan?

Apakah mungkin kita membuka ruang baru tanpa menghapus akar lama?"

Saya percaya jawabannya: mungkin. Dan kita harus mulai dari kesediaan untuk berpikir jernih, melihat dari banyak sisi, dan bersedia menemukan keseimbangan baru.

Seperti kata Nash dalam film A Beautiful Mind:

The best for the group comes when everyone in the group does what’s best for himself and the group.

Barangkali itu juga yang kita butuhkan hari ini: bukan narasi menang-kalah, tapi keberanian untuk menata ulang relasi, tanah, dan harapan -- dalam semangat persatuan, bukan pemaksaan.

Rempang bukan hanya tanah Melayu. Ia juga tanah masa depan Indonesia. Dan masa depan itu harus kita bangun dengan kepala yang dingin dan hati yang jernih -- dengan akal yang indah, dan jiwa yang adil.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news