Politik Selfie Pejabat Publik

Foto dok
Foto dok

AKSI politik selalu bersifat personal. Momentum beraksi di lapangan perlu diabadikan sekaligus disebar. Melalui penyebaran lewat medsos meski dibumbui keterangan super singkat, foto aksi itu akan menuai komen dan kritik. Pejabat publik atau politisi yang menyebar lewat akun pribadi biasanya antusias mencermati aneka komen follower-nya. Ada yang perlu direspon, pun ada yang cukup dibaca saja.

Fenomena selfie pejabat publik atau politisi marak seiring dengan kian canggihnya kamera telepon genggam. Kamera menjadi sarana penting mengabadikan beragam kegiatan lalu cepat diunggah ke akun resmi pejabat publik atau sang politisi. Tujuannya, agar segera diketahui publik. Seorang gubernur di Indonesia saat ini telah memanfaatkan sarana gratis publikasi itu. Ia selalu memotret kegiatannya, lalu cepat mengunggahnya ke medsos. Ia tak butuh media konvensional untuk menginfokan beragam aksi lapangannya ke publik. Cukup jepret lewat kamera handphone lalu sebar ke medsos.

Namun, belakangan ia dibanjiri sorotan. Yang paling banyak kritikan. Pengkritik menudingnya haus publisitas. Pun kritikus yang meledekya suka pamer. Sang gubernur tak peduli. Aksi selfie di tengah kegiatan tetap dijalaninya. Lepas dari suka atau tidak pada aksi itu, yang patut diperhatikan adalah menyatunya antara kesadaran diri dan perangkat teknologi canggih, yaitu telepon genggam. Itulah yang disebut oleh pakar tekno-futuristik saat ini, Ray Kurzweil, sebagai ''singularitas''.

Sejak awal 1990-an, serangkaian teknologi baru telah mengubah cara kita hidup dan kekuatan individu untuk mempengaruhi masyarakat serta mengubah dunia. Dengan munculnya internet, teknologi mobile, media sosial, dan kecerdasan buatan, kemampuan individu, kelompok, gerakan, dan partai politik untuk mewujudkan perubahan tidak pernah sebesar saat ini. Warga pengikut sebuah akun medsos bisa berinteraksi langsung dengan pemilik akun. Tak perlu orang lain untuk mediasi atau perantara.

Pejabat publik atau politisi bisa langsung berinteraksi dengan pengikut, dimanapun dan kapanpun. Semakin viral, kian terkenal. Perbincangan publik yang dulu sering tanpa sarana, kecuali pada saat kumpul bersama atau saat arisan, kini bisa berlangsung melalui medsos. Semakin banyak yang menonton, menyukai (like) dan berkomentar (komen), maka pemilik akun kian kondang. Apalagi jika topik yang diunggah mampu menghentak publik, memantik rasa ingin tahu. Viral pun semakin cepat.

Buntutnya, pemilik akun memonetisasi konten-kontennya. Jika berhasil, dari Google AdSense, ia memperoleh pendapatan di luar dari gaji atau tunjangan resmi dari APBN. Itulah gambaran pejabat publik yang jeli melihat peluang saat inspeksi ke lapangan. Situasi yang sama sesungguhnya juga berlangsung di AS atau negara manapun. Ketika pejabat publik tampil ke publik bukan sekadar ingin dekat pada warga, tapi ia ingin berinteraksi sekaligus beraksi untuk direkam lalu diviral. Zaman Google kini mengubah segalanya.

Selain itu, pemimpin dan organisasi kreatif juga menggunakan petisi daring (online) dan jaringan media sosial untuk memerangi perdagangan manusia. Grup dapat terbentuk semalam di platform media sosial. Berusaha untuk menangani isu-isu besar dan kecil, dari perubahan iklim global sampai meningkatkan keselamatan lalu lintas di zona sekolah lokal. Foto-foto kekejaman, brutalisme dan pelanggaran HAM berat dapat beredar di seluruh dunia. Dampaknya, meningkatkan kesadaran dan menyoroti negara-negara bejat.

Seorang pejabat publik bersama tim medsosnya bisa mengorganisir dirinya sendiri di Facebook, Instagram, dan platform media lainnya. Semua bisa tersimpan rapi dalam kronologi. Tak mudah dihapus. Kasus Fufufafa beberap waktu lalu menjadi contoh. Server komputer di seluruh dunia akan menyimpan sejumlah besar data biometrik tentang kita. Pergerakan kita akan dipantau, sama seperti langkah-langkah kita dilacak saat ini.

Orang asing akan tahu dan kecerdasan buatan akan melacak detak jantung, pernapasan, kadar glukosa, suhu tubuh, dan data biometrik lainnya secara real time. Beberapa pekan silam, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) membekukan Worldcoin, penyedia jasa perekaman retina mata. Tindakan Komdigi ini sangat tepat karena menyangkut hak privasi warga. Segala ciri dan informasi warga bersifat rahasia pribadi, tidak boleh sembarangan diumbar apalagi ada kemungkinan diperjualbelikan lewat web gelap (darkweb).

Penulis buku ini, Ray Brescia, adalah gurubesar ilmu hukum di Albany Law School, New York, AS. Observasinya terhadap dampak perkembangan serta kemajuan teknologi digital pada interaksi antar manusia, patut diacungi jempol. Sangat rinci, jeli, cermat, langsung menukik ke jantung persoalan, yakni hubungan politis serta hukum akibat interaksi memakai perangkat digital. Secara positif, perangkat digital bisa menjadikan warganet melek hukum, politik serta peka situasi sosial, karena pejabat publik yang akun medsosnya banyak diikuti tentu memberi informasi penting untuk diketahui publik. Tanpa melalui media konvensional.

Secara negatif, perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang digital bisa mendikte keinginannya kepada pejabat publik atau pemerintah. Terutama untuk perekaman data pribadi warga. Keunggulan perusahaan digital seperti Worldcoin yang jarang dicermati kritis, menjadi faktor utama pemerintah jadi takluk karena semata menganggap produk digital atau platform medsos menjadi sarana efektif sekaligus efisien yang mampu menjangkau publik luas. Apalagi sangat sedikit dari warga pengguna teknologi digital dan platform medsos yang sadar dan kritis, betapa penting menjaga kerahasiaan pribadi.

Ala kulli hal, identitas diri di era digital tentu harus tetap dijaga. Ada ruang privasi yang tak perlu diumbar ke publik. Menjadi tenar memang mengasyikkan, tapi mengumbar privasi atau rahasia pribadi ke publik bisa-bisa membahayakan.

*Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news