Tianjin Saksi Sejarah Globalisasi Tiongkok

Foto dok
Foto dok

TIANJIN bukan sekadar kota terbesar ketiga di Tiongkok dewasa ini. Ia adalah tempat dimana pada abad ke-19 sampai awal abad ke-20, lokasi bertemunya sepuluh kekuatan militer dari beragam negara. Mulai dari Inggris, Jerman, Prancis, AS, Jepang, Rusia, Austria, Hungaria, Italia dan Belgia, semuanya saling berebut pengaruh dalam kota itu.

Perang opium berkecamuk antara Inggris, Prancis dan AS pada 1861. Tiga dekade kemudian, pecah perang antara Jerman lawan Cina pada 1895. Jerman meminta konsesi di Tianjin, lalu diikuti permintaan konsesi oleh Jepang pada 1898.

Berlanjut pada 1900 ke perang Boxer antara Cina lawan Rusia yang meminta konsesi. Italia pada 1901 juga meminta hal serupa, termasuk Austria, Hungaria dan Belgia. Sampai 1902, laga berlangsung di kota tersebut. Tianjin memang strategis. Posisinya dekat Teluk Bohai yang menjadi rute utama masuk langsung ke Beijing. Selain itu, Tianjin juga menduduki posisi kota dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat nomor dua setelah Shanghai, dan Tianjin menyediakan kawasan pergudangan yang bagus dari generasi ke generasi.

Ditambah lagi, Tianjin menjadi tempat penyemaian gagasan-gagasan pro-Barat yang sangat kondusif. Sejumlah pejabat diplomatik berdomisili di kota itu. Wajar jika kemudian atmosfir intelektual terasa sekali di Tianjin. Apalagi, dua tokoh politik penting Cina, yakni Jenderal Li Hongzhang dan Jenderal Yuan Shikai, juga bertempat di Tianjin. Keduanya sangat berpengaruh pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, dan sangat pro-Barat dan melihat Barat sebagai sohib dalam diplomasi untuk ekonomi dan budaya.

Pemberian konsesi oleh Cina kepada kekuatan Barat ketika itu merupakan taktik agar kekuatan tersebut tak merangsek maju lebih dalam ke kawasan Cina. Dan pemberian konsesi juga bertujuan menjaga martabat Cina. Namun, berkat interaksi intensif antar kekuatan di Tianjin lambat-laun berpengaruh terhadap situasi keseharian warga atau komunitas kota. Mereka terbiasa berhadapan dengan orang-orang Barat serta menjalankan bisnis bersama. Meskipun, ironinya, hari ini, Tianjin hampir tidak dikenal oleh "Orang Barat".

Padahal kota ini adalah salah satu metropolis yang paling kosmopolitan di dunia pada awal abad ke-20. Siapapun bisa bertemu dengan orang Tionghoa, Manchu, Prancis, Britania, Amerika, Jerman, Jepang, Rusia, Belgia, Italia, Austro-Hungaria, Kanada, Denmark, Norwegia, Australia, Vietnam, Mongolia, Tamil, Rajput, Punjabi, Korea, Filipina, Yahudi Askenazi, Ottoman, Yunani, dan berbagai macam ekspatriat. Kota ini telah diubah oleh Perang Boxer menjadi mikrokosmos dunia di mana kekuatan kecil dan besar terus-menerus berinteraksi, sering bekerjasama, saling bersaing, dan kadang-kadang terlibat dalam pertikaian.

Narasi Barat terhadap Cina pada abad ke-19 selalu bersifat negatif. Penulis buku ini, gurubesar ilmu sejarah di Universitas Paris I Panthéon-Sorbonne, Prancis, justru menggugat narasi tersebut. Menurutnya, Cina abad kesembilan belas telah lama dipresentasikan oleh para sejarawan sebagai sebuah kekaisaran yang menua, terisolasi, dan mementingkan diri sendiri, yang pembukaannya terhadap asing terpaksa dilakukan oleh imperialisme Barat.  

Pada paruh kedua abad kesembilan belas, kekuatan asing menghadapi Kekaisaran Cina yang diperintah sejak pertengahan abad ke-17 oleh etnis minoritas asing, Manchu, yang telah memaksakan kekuasaan mereka atas mayoritas Han. Dengan bantuan administrasi yang luas dan elit terpelajar, kaisar (biasa disebut 'Tianzi') dari dinasti Qing memerintah 22 provinsi, yakni beberapa prefektur, yang masing-masing terdiri dari distrik yang berbeda.

Di setiap distrik, hakim mengelola berbagai urusan yudisial, ekonomi, dan agama. Dalam sistem ini, kaisar Manchu menjalankan kebijakan ekspansionis. Pada tahun 1750, China menetapkan hegemoni atas semua negara di perbatasan utaranya, menjalin hubungan dengan Kekaisaran Rusia, dan mengintegrasikan negara-negara Asia Tenggara ke dalam sistem upeti.

Politik kekaisaran Qing sudah memperlihatkan model organisasi negara modern, yang didirikan di atas penggunaan sumber daya ekonomi, teknis, dan ideologis yang terkoordinasi. Angkatan bersenjatanya mempunyai ciri memerintah lebih menyerupai angkatan bersenjata Ottoman, Rusia, atau Austro-Hungaria daripada angkatan bersenjata dinasti Ming: kavaleri yang mampu cepat bergerak dengan artileri, senapan, dan logistik yang efektif. Ekonomi kekaisaran berkembang pesat pada abad ke-18  dengan sistem irigasi dan jaringan transportasi yang sangat maju.

Pada saat yang sama, para kaisar Cina memiliki ambisi universalistik. Ingin berkuasa bukan cuma di wilayah Cina kala itu, melainkan juga hendak menguasai wilayah-wilayah lain.  Menjelang akhir abad 18, Qianlong diyakinkan oleh para penasehatnya bahwa dominasi Qing dapat diperluas atas semua bangsa yang cukup beradab. Dengan demikian, Eropa dan Amerika Serikat hampir tidak memiliki monopoli atas wilayah Cina. Bahkan, pada abad ke-18, kaisar Cina membangun taman-taman besar yang mewakili dunia dengan bantuan arsitek Eropa di istana musim panas yang lama, dipenuhi dengan paviliun dan benda-benda dari berbagai negara Eropa.

Ambisi universalistis itu mendorong kaisar pada akhir abad 18 untuk terlibat dalam operasi militer yang mahal dan berisiko di pinggiran kekaisaran. Inisiatif yang menguras kas Qing pada awal abad 19 dan berkontribusi pada kesulitan sosial dan politiknya. Dari sini kemudian kekuatan-kekuatan Barat mulai memainkan politik konsesi. Merangsek maju ke wilayah-wilayah Cina yang kosong lalu meminta kekaisaran Cina agar memberi konsesi penguasaan wilayah tersebut. Jika tidak, kekuatan-kekuatan Barat akan melakukan pendudukan tetap atas wilayah-wilayah tersebut.

Ala kulli hal, Tianjin berfungsi untuk melindungi Beijing dari ancaman. Menjamin pasokan gandum dan mengendalikan Kanal Besar. Tianjin menjadi depot pusat dan lokasi untuk perdagangan garam di setengah bagian utara Cina. Kegiatan komersial Tianjin diuntungkan dari posisinya di pertemuan rute darat, Sungai Hai, dan Kanal Besar. Memang, itu sudah menjadi pusat kosmopolitan jauh sebelum kedatangan orang Eropa.

*Penulis adalah akademisi dan periset

ikuti terus update berita rmoljatim di google news