- Refleksi Hari Buruh 1 Mei: Meratapi Nasib di Zaman Kalabendu
- Awas, Bahaya Laten Stereotip
- Perempuan Bukan Pion Lelaki
BUKU ini hasil proyek mandiri selama masa pandemi COVID-19. Saat suasana masih mencekam, akses ke berbagai tempat umum sangat dibatasi. Warga dipaksa untuk tinggal di rumah. Hari-hari pandemi merupakan hari-hari penuh kesunyian. Nyaris tak ada interaksi warga. Penulis buku ini harus bekerja dalam rumah, menelusuri sumber-sumber penting dari kediamannya.
Diakuinya, penelusuran itu menyenangkan, apalagi ia yang tumbuh-kembang sejak kecil dari lingkungan yang dipenuhi buku. Karena selalu kehausan membaca, ia lantas berburu buku-buku tatkala ada ''sale'' buku tiap tahun. Mulailah ia membangun perpustakaannya.
Bagi penulis, perpustakaan selalu memuaskan keinginannya untuk mengetahui segala hal. Perpustakaan juga membantu dirinya mengusir rasa kesepian. Seperti perasaan Erich Auerbach, peletak dasar kajian sastra perbandingan, seorang Yahudi Jerman di masa-masa gelap Perang Dunia II.
Erich menulis karya agungnya, Mimesis, di studionya di pengasingan, saat tinggal di Istanbul. Dari seberang Selat Bosporus, Erich mengarahkan pandangan melankolis ke Eropa dan ia mengumpulkan semua literatur Barat. Diakui Erich, bahwa dirinya tak memiliki edisi kritis dari karya-karya sastra Eropa itu, sehingga ia lebih banyak mengandalkan ingatannya.
Buku ini menelusuri bagaimana kaum humanis Renaisans menciptakan tempat penyembuhan jiwa yang akrab disebut studiolo. Tempat perpustakaan pribadi untuk pengembangan dan pembentukan diri.
Para humanis biasa terkurung dalam empat dinding berjuluk Studiolo itu. Studiolo semacam lubang tempat penyuka pustaka (bibliofilia) merenungkan dunia dan tempat peristirahatan, tempat bibliofilis mengembangkan diri.
Perenungan filosofis kian dalam. Untuk mengenal dunia, seseorang harus mulai dengan mengenal dirinya sendiri, seperti yang diajarkan oleh filsafat kuno. Sedangkan untuk mengenal diri sendiri, seseorang juga harus mempelajari orang lain, terutama ide-ide yang tercatat dalam teks.
Suasana ini terjadi dalam kesendirian para penulis besar seperti WEB Du Bois. Ia kembali menyimak apa yang ditulis Machiavelli tatkala sedang menulis buku ''The Souls of Black Folk'' yang terbit tahun 1903.
Perpustakaan sebagai sarana pelarian diri juga bisa dilacak sampai abad pertengahan. Karya-karya besar filsuf Yunani mengilhami para penulis besar yang bermunculan di abad pertengahan. Inspirasi dari Cicero, sejarawan cum politisi sohor di akhir masa Romawi terus bergaung mendorong tumbuhnya kecintaan terhadap lautan pustaka.
Ungkapannya yang berbunyi ''Tiap kali Tyrannio (pustakawan yang disewa Cicero) menambahkan buku ke dalam rumahku, seolah jiwa bertambah di rumahku''. Ungkapan inilah yang kelak menjadi berbunyi ''Rumah tanpa pustaka bagaikan raga tanpa jiwa''.
Jika pada masa sebelum abad pertengahan kegiatan membaca selalu identik sebagai dialog kepada Tuhan, maka penyair Italia abad ke-14 Francis Petrarch mengubah makna membaca. Tak lagi semata dimaknai berdialog dengan Tuhan, melainkan juga berdialog tentang suara-suara masa lalu.
Seperti masa keemasan Romawi ketika begitu banyak karya filsuf, sejarawan atau politisi yang bisa memantik inspirasi bagi kaum humanis abad pertengahan Eropa. Dan rumah dengan penuh pustaka menjadi tempat berkumpul untuk membincang isi manuskrip atau buku.
Buku ini hanya berisi dua bagian. Pertama, tentang bibliofilia, perilaku suka pustaka. Para bibliofilis (penyuka buku) melihat perpustakaan bukan sekadar tempat membaca, melainkan itu juga lokasi berbagi inspirasi, menumbuhkan kreasi sekaligus memperluas wawasan.
Kedua, ihwal bibliomania. Pada bagian ini berkisah saat kaum bibliofilis melihat teks bukan sekadar penyampai pesan atau gagasan. Teks bisa lebih dari itu, yakni penggambaran tentang dunia.
Akhirulkalam, buku terbaru karya sejarawan kebudayaan Andrew Hui dari Singapura ini memang menarik. Sebagai gurubesar di Yale-NUS College, ia begitu gamblang menjelaskan bagaimana kaum humanis belajar di abad pertengahan Eropa.
Hui meraih gelar doktor dari Universitas Princeton bidang sastra perbandingan. Kini, ia mengajar di Yale-NUS College, Singapura. Karya terbarunya ini sangat bermanfaat bagi siapapun yang ingin mengetahui bagaimana proses pembelajaran dari masa lalu.
Penulis akademisi dan periset
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Refleksi Hari Buruh 1 Mei: Meratapi Nasib di Zaman Kalabendu
- Awas, Bahaya Laten Stereotip
- Perempuan Bukan Pion Lelaki