RUU KUHAP Harus Jadi Instrumen Penguatan Masyarakat Sipil, Bukan Formalitas Administratif

Dr. Aulia Khosanofa saat presentasi dalam seminar Nasional di Unmuh Jember/RMOLJatim
Dr. Aulia Khosanofa saat presentasi dalam seminar Nasional di Unmuh Jember/RMOLJatim

Dr. Auliya Khasanofa, S.H., M.H., Wakil Rektor I Universitas Muhammadiyah Tangerang, memaparkan urgensi pembaruan sistem hukum acara pidana Indonesia yang tidak hanya berorientasi pada penghukuman, namun juga pada pemulihan dan partisipasi masyarakat sipil. 


Hal ini disampaikannya dalam Seminar Nasional bertajuk “Paradigma Baru Sistem Peradilan Pidana dalam Rangka Penguatan Masyarakat Sipil” yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Jember, Kamis 8 Mei 2025.

Menurut Dr. Auliya, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) harus dipandang sebagai momentum untuk mewujudkan paradigma baru dalam sistem peradilan pidana Indonesia. 

“Partisipasi masyarakat dalam setiap tahap pembentukan peraturan perundang-undangan adalah hak konstitusional yang harus dihormati, bukan hanya formalitas,” ujarnya merujuk pada Pasal 96 UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

Lebih lanjut, ia menjelaskan, paradigma lama yang retributif dan koersif tidak lagi relevan dengan konteks sosial Indonesia saat ini. “Kita butuh pendekatan yang korektif, restoratif, dan rehabilitatif. Pendekatan hukum pidana yang mampu merawat hubungan sosial, bukan hanya menghukum pelaku,” jelasnya.

Dr. Auliya juga mengkritisi pemahaman yang sempit tentang restorative justice (RJ) yang selama ini dianggap cukup dengan mediasi damai. 

“Restorative justice bukan sekadar penyelesaian administratif. Ia harus menjamin pemulihan korban, tanggung jawab pelaku, dan keterlibatan komunitas. Jika hanya sebatas formalitas, maka itu pengkhianatan terhadap keadilan,” tegasnya.

Dalam konteks RUU KUHAP, ia mengingatkan agar mekanisme RJ tidak disterilkan dari substansi keadilan. 

“Ketika keadilan dipersempit hanya menjadi soal prosedur, kita kehilangan arah tujuan hukum. Maka RUU KUHAP harus membumikan RJ secara komprehensif, tidak hanya menjadi jargon diskusi publik,” tambahnya.

Ia juga menekankan bahwa penguatan masyarakat sipil tidak bisa lepas dari sistem hukum yang inklusif. 

“Jika kita ingin sistem hukum yang demokratis, masyarakat harus diberi ruang nyata, bukan hanya dijadikan objek kebijakan,” katanya.

RUU KUHAP, menurutnya, tidak hanya harus menjamin perlindungan hak asasi manusia (HAM), tetapi juga menjadikan teknologi digital sebagai alat akselerasi keadilan. 

“Digitalisasi peradilan pidana adalah keniscayaan. RUU KUHAP harus menjadi landasan hukum untuk e-court dan e-litigation, sebagaimana peradilan modern yang adil, transparan, dan akuntabel,” jelasnya.

Di akhir paparannya, Dr. Auliya mengajak sivitas akademika, pembuat undang-undang, dan masyarakat sipil untuk mengawal pembaruan KUHAP agar benar-benar merefleksikan kebutuhan rakyat, bukan hanya kepentingan institusi. 

“RUU KUHAP harus menjadi instrumen demokratisasi hukum, bukan sekadar mekanisme administrasi penegakan hukum,” pungkasnya.

ikuti terus update berita rmoljatim di google news