Rencana Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin yang membuka kemungkinan bagi dokter umum untuk melakukan operasi caesar di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) menuai kritik tajam dari kalangan legislatif. Anggota Komisi E DPRD Jawa Timur, Puguh Wiji Pamungkas, menilai wacana tersebut sebagai langkah yang bertentangan dengan prinsip akademik dan etika profesi kedokteran.
- Badai PHK Mengintai, DPRD Jatim Desak Perusahaan Patuhi Pembayaran THR
- Porprov Jatim IX Digelar di Malang Raya, Puguh Wiji Pamungkas Tekankan Kualitas dan Dampak Ekonomi
- Kondisi Ekonomi yang Tidak Menentu dan Biaya Wisuda: Beban Tambahan bagi Masyarakat Menjelang Lebaran
“Menurut saya itu suatu statement yang paradoks, kontradiktif dengan dunia akademis,” tegas Puguh dalam keterangannya, Rabu (21/05/2025).
Politikus dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu menilai Menkes, yang berlatar belakang non-medis, kurang memahami batas kompetensi medis secara akademis. Menurutnya, tindakan operasi—termasuk operasi caesar—merupakan kewenangan mutlak dokter spesialis obstetri dan ginekologi (obgyn), bukan dokter umum.
“Mungkin karena beliau bukan orang kesehatan tetapi menjadi Menteri Kesehatan. Sehingga dari segi akademisnya kurang menguasai, tetapi dari aspek kebijakan publik bisa,” ungkapnya.
Puguh menekankan bahwa dalam praktik medis terdapat aturan baku dan etika profesional yang tak bisa dikompromikan hanya karena alasan kekurangan tenaga di daerah. Ia menilai bahwa tindakan medis berisiko tinggi seperti operasi caesar harus tetap dilakukan oleh tenaga yang berkompeten.
“Ada beberapa pakem kesehatan yang tidak bisa ditabrak. Seperti dokter umum yang bisa melakukan sesar, itu bukan kompetensinya. Karena dokter yang bisa melakukan operasi itu harus spesialis,” tegasnya.
Menanggapi permasalahan kekurangan dokter spesialis di wilayah 3T, Puguh mendorong pemerintah pusat untuk berfokus pada reformasi rekrutmen dan peningkatan jumlah dokter spesialis melalui jalur pendidikan yang lebih inklusif. Menurutnya, solusi jangka panjang perlu melibatkan dukungan finansial dan perbaikan sistem pendidikan kedokteran.
“Untuk solusi kekurangan dokter spesialis di daerah itu bagaimana pemerintah memberi support, misalnya dalam bentuk beasiswa ataupun seleksi dokter umum yang melakukan PPDS,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa rendahnya jumlah dokter umum yang melanjutkan pendidikan ke jenjang spesialis disebabkan oleh berbagai kendala, termasuk biaya tinggi, sistem seleksi yang ketat, dan terbatasnya kuota pendidikan.
“Hari ini input anak-anak dokter umum yang ke spesialis sedikit, karena barrier entry-nya berat, biaya tinggi, atau faktor rekomendasi dan ketersediaan kelas yang dibuka. Jadi ini harus diubah, kuota kelasnya ditingkatkan,” pungkasnya.
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Idul Adha 2025, Erma Susanti Dorong Pengawasan Hewan Kurban tidak Ganggu Ekonomi Peternak
- DPRD Jatim Inisiasi Raperda Transportasi Publik Terintegrasi untuk Pemerataan Wilayah
- DPRD Jawa Timur Tegaskan Penguatan Tata Kelola PT Jamkrida untuk Dukung UMKM