Ilang Gapite

DURNA meninggalkan rumah Ki Lurah Karang Kadembel dalam keadaan emosi tingkat tinggi.  Bagong tidak khawatir.

Biarpun dicegat di tengah jalan dan ditantang duel, tidak membuat Bagong takut. Dia masih punya Hanoman, si munyuk (kera) sakti mandraguna, pembakar Negara Ngalengka.

Apa yang disampaikan Bagong pada Durna, sudah sepatutnya disampaikan. Kebenaran tidak boleh disembunyikan, harus disampaikan walau pahit dan membuat kuping pendengarnya panas.

Durna sendiri orangnya juga begitu. Licik. Penuh tipu muslihat. Pengadu domba. Suka membuat goro-goro. Sebelas dua belas dengan Sengkuni.

Namun saat ini bukan Durna yang dikhawatirkan Bagong. Melainkan pelantikan kedua Prabu Welgeduwelbeh sebagai raja Lojitengara.

Bagong melihat ada tanda-tanda tidak beres. Seluruh penghuni negeri tiba-tiba menjadi sangat baik.

Padahal di mayapada (dunia kahyangan), masih ada gontok-gontokan. Sedang di marcapada (dunia manusia) tidak demikian. Yang ribut kini menjadi tenang.

Keadaannya seperti air. Tidak mengalir. Diam. Tenang. Tapi sewaktu-waktu bisa menghanyutkan. 

Bagong bicara dengan Semar soal keadaan ini.

"Mar, Mer, Mar, Mer,” panggil Bagong, "sampean melihat keadaan sekarang sudah tenang. Rakyat lagi berpesta menyambut raja dua periode. Apa ya memang seperti itu?” Tanya Bagong.

"Mar Mer, Mar Mer, aku ini bapakmu. Yang sopan kalau manggil,” jawab Semar.

"Lha sampean namanya siapa?”

"Semar.”

"Lha yo bener toh. Salahku dimana, Mer?”

"Sak karepmu. Yo wis malah enak toh nek keadaan tenang. Memang wis wancine,” sahut Semar.

"Tapi hatiku kok tidak tenang, Mer!”

"Lha sing mbok nalar, piye toh, Thole!”

"Ada keadaan tidak biasa, Mer. Ada yang tampak galak, tampak garang, sekarang tampak mati. Banyak orang kehilangan kaweruhan (pengetahuan). Ada yang hilang kaluhuran (kebaikan), ada yang sirna kadikdayan (kesaktian),” kata Bagong.

"Hmmm, sopo sing mbok maksud?” Gumam Semar.

Bagong lantas menceritakan, kaum terpelajar yang awalnya sudah bangun dari tidur, kini kembali terlelap. Kaum terpelajar yang awalnya sangat ngotot melawan oligarki, kini kembali terdiam.

Rakyat kembali kehilangan harapan.

"Begitu cepatnya mereka ‘tertidur’. Padahal negara sedang gonjang-janjing (kacau). Ada sesuatu yang membuat mereka takut. Tampaknya sekolah tempat mereka belajar sudah diancam sama begundal-bedundal Welgeduwelbeh,” jawab Bagong berapi-api.

Bagong mencontohkan lagi, golongan begawan dan pandhito mingkem cep (diam) saat agama dikuyo-kuyo. Disebutnya, agama tidak perlu ditolong. Agama tidak perlu dibela. Padahal di ayat disebutkan, Tuhan memberi keleluasaan pada manusia untuk membela agamanya.

Golongan ksatria yang disebut politisi jalanan, politisi oposisi, yang awalnya ngiwo (kiri) maupun nengen (kanan), mulai berganti haluan. Mereka larut dalam suasana kebatinan yang amburadul. Mereka tak mau kehilangan momen rangkul-rangkulan dengan Welgeduwelbeh dan begundal-begundalnya, bagi kapling rezeki dan kekuasaan.

Bagi mereka tak perlu lagi ada oposisi. Rakyat tidak perlu dibela. Tuhan saja tidak dibela. Mereka kini mau berbuat apa saja. Maunya bebas tanpa kontrol.

"Coba bayangkan, Mer, dengan keadan seperti itu, banyak orang nemu bejan (keberuntungan) akibat tidak bisa menjaga prilakunya. Banyak orang nemu kebecikan (kebaikan) justru dari tindak dursila (prilaku buruk),” seru Bagong.

"Hmmm, Baladewa ilang gapite,” Semar menyahuti.

"Maksudnya bagaimana, Mer, kok Prabu Baladewa hilang penjepitnya. Kalau bicara yang cetho (jelas), Mer,” timpal Bagong.

"Keadaan sekarang yang kamu ceritakan itu seperti Baladewa ilang gapite. Artinya, Baladewa kehilangan penjepitnya tulang penyu atau tanduk kerbau, maka dia tidak akan bisa berdiri tegak. Tidak hanya Baladewa, semua orang kalau kehilangan penjepitnya, dia akan nglempreg atau gleyar-gleyor. Semua lakon juga begitu, Thole. Jika kita sudah kehilangan ‘gapit’, kita akan jadi gleyar-gleyor. Seperti manusia tanpa ruh. Dalang tidak bisa memainkan wayangnya,” ujar Semar.  

Semar melanjutkan, orang yang kehilangan ‘gapit’, maka segala kegalakkan, kegagahan, keberanian, dan kegarangannya akan hilang dan tidak berarti lagi.

"Semula dia memiliki kekuatan besar namun secara tiba-tiba kehilangan semua simbol kekuatannya itu. Simbol kekuatan itu bisa berupa kekayaan, kedudukan, jabatan, kekuatan otot, banyaknya jaringan pertemanan, kepandaian, kecantikan, ketampanan, kecakapan, kepandaian, kebaikan, ataupun hal yang lain,” lanjut Semar.

Menurut Semar, banyak tokoh terkenal hilang pamornya dan diremehkan masyarakat. Penyebabnya, dia terlalu kadunyan (duniawi). Kelompok elit yang cerdik dan pandai itu awalnya dihormati, namun akhirnya dicaci karena tidak amanah mengemban tanggungjawab.

"Mereka tidak mau tenggelam bersama rakyat. Tidak mau merasakan penderitan dan kesusahan rakyat. Yang diurusi hanya kepentingan kelompok dan golongannya. Mereka mulai menjauh dari ajaran agama. Pegangan iman rusak atau dirusak sendiri. Banyak diantara manusia modern melupakan konsep halal dan haram sehingga menerabas semua aturan hidup. Kondisi seperti ini dalam bahasa Jawa disebut ‘Baladewa Ilang Gapite’, orang yang hilang keluhurannya,” urai Semar.

Bagong melihat bapaknya mulai ngejowantah. Dia hanya mantuk-mantuk. Kalau sudah begini, Bagong tak berani njambal pada Semar.

"Ngestoaken dawuh, Romo!” Bagong mengapuracang dan kemudian pamit.

Noviyanto Aji

Wartawan