Tumbal Kresna dan Semar

BAGONG mendengar kabar Begawan Kintoko Dewo berada di Mandura. Buru-buru ia mendatangi lokasi Kintoko Dewo.

Nama Kintoko Dewo semakin melambung. Bukan saja di Mandura, melainkan juga dikenal di Ngamarta, Hastina, Dwarawati, hingga Lojitengara.

Bahkan Raja Welgeduwelbeh berusaha untuk mengundang Kintoko Dewo ke istana, sekedar mendengar nasehat-nasehatnya soal perdamaian.

Tampaknya Kintoko Dewo lebih tertarik untuk mendatangi Hastina dan Ngamarta. Kedua negeri ini selalu terlibat konflik antara Kurawa dan Pandawa.

Namun sebelum itu, begawan misterius yang kedatangannya secara tiba-tiba, harus membuat woro-woro ke pelosok negeri. Menyebarkan woro-woro tentang kedamaian dan supaya masyarakat mendukung ide-idenya.

Fokus Begawan Kintoko Dewo adalah gencatan senjata Baratayudha.

Rakyat percaya. Terbuai. Sorak sorai.

Mereka saling melakukan hasut. Mulai melawan gerakan-gerakan radikal yang selama ini dianggap menjadi pemicu peperangan.

Gerakan radikal digemakan. Sebab, gerakan radikal sama sekali tidak membawa kedamaian.

Para pemimpin negeri mulai mensosialisasikan konsep kedamaian yang dibawa Kintoko Dewo.

Orang-orang mulai dilarang menggunakan istilah "kafir”, "jihad” dan "khilafah”.

Di sekolah, di pengajian, istilah-istilah ini mulai dihapus. Bahkan kitab suci pun diubah jika dianggap membuat kerusakan.

Semua demi kedamaian dan ketentraman.

Begitu pula dengan perselisihan Kurawa dan Pandawa. Perselisihan keduanya bagian dari gerakan radikal.

Perang Baratayudha yang sudah ditakdirkan menjelma menjadi hal tabu. Untuk itu, harus dilawan.

Perang hanya akan merugikan kedua belah pihak dan memakan korban jiwa.

Melihat konsep perdamaian Kintoko Dewo, Bagong tertarik. Ia ingin segera bertemu Begawan Kintoko Dewo. Bahkan bersedia berguru padanya selama 25 tahun.

Beruntung di Mandura, Bagong dipertemukan dengan KIntoko Dewo.

"Sembah sujud begawan,” sapa Bagong.

"Eh, kowe sopo?” Tanya sang begawan.

"Ingsun Bagong.”

"Eh, Bagong anaknya Semar!” Serunya.

"Benar,” sahut Bagong.

"Ada apa menemui aku?”

"Mau berguru pada begawan. Mau lihat kedamaian di negeri ini.”

"Kalau begitu kamu ikut aku ke Hastina. Kamu jadi cantrikku. Aku mau ketemu Kurawa dan Pandawa,” ajak Begawan Kintoko Dewo yang diikuti Bagong.

Di Hastina, Bagong bertemu dengan Bayusuta dan Janaka. Keduanya tampak jagongan bersama Pandhita Durna, Sengkuni dan Duryudhana.

Bagong menyapa tapi agak kikuk dengan kondisi tersebut.

"Kok Raden Werkudara dan Raden Arjuna di sini?” Tanya Bagong keheranan.

"Bagong, mengapa kamu ke sini?” Tanya balik Bayusuta alias Werkudara dengan suara menggelegar seperti biasanya.

"Anu sinuwun, saya diajak Begawan Kintoko Dewo. Saya kan sekarang jadi cantriknya,” jawab Bagong.

Suasana menjadi agak cair. Saat itu Bayusta dan Janaka memang sengaja diundang Duryudhana ke Hastina untuk berdiskusi bersama Begawan Kintoko Dewo.

Kintoko Dewo membuka percakapan.

"Werkudara dan Janaka, apa kalian sudah tahu maksud diundang kemari?” Tanya Kintoko Dewo.

Keduanya menggeleng.

Lalu sang begawan menjelaskan bahwa dia ingin menciptakan perdamaian antara Kurawa dan Pandawa. Caranya dengan menghentikan perang Baratayudha.

"Ya, perang Baratayudha harus dihentikan. Kurawa dan Pandawa harus berdamai. Bukankah itu baik, demi keagungan umat manusia,” terang sang begawan yang diamini semua orang.

Bagong yang mendengar ucapan langsung dari sang begawan baru percaya, bahwa apa yang disampaikan Prabu Dwarawati hanya kecurigaan belaka. Justru kecurigaan Prabu Dwarawati adalah sebuah keradikalan.

Buktinya apa yang didengar Bagong dari sang begawan benar-benar murni untuk mencari ketentraman dan kedamaian di marcapada ini.

"Prabu Dwarawati terlalu radikal. Menuduh yang tidak-tidak pada Begawan Kintoko Dewo. Buktinya Raden Werkudara dan Raden Janaka menyetujui konsep Begawan Kintoko Dewo,” kata Bagong dalam hati.

Belum hilang rasa ketakjuban Bagong, ia kembali dibuat heran. Bedanya, kali ini keheranan Bagong berbuah menjadi kemurkaan.

Ya, saat itu Bagong mendengar Begawan Kintoko Dewo menyebut-nyebut nama Semar dan Kresna.

"Untuk menghentikan perang Baratayudha ada syaratnya,” kata sang begawan.

"Apa itu?” Tanya Arjuna.

"Jangka pati Kresna dan Semar. Sebab keduanya yang membuat Baratayudha ini dapat terjadi. Keduanya radikal,” jawab Kintoko Dewo.

Bagong yang mendengar itu langsung maju ke depan.

"Sebentar sinuwun, kok ada yang tidak beres. Aku mau ikut nimbrung,” tegas Bagong.

"Eh, wong gedibal, wong kere, cuma punokawan, mengapa maju ke depan dan tidak sopan berbicara dengan kita,” kata Durna.

"Hei, Durna, lambemu ojo clometan,” sahut Bagong sekenanya.

"Eh, Bagong kurang ajar. Hormati sinuwun Duryudhana,” dibalas Sengkuni.

"Aku hormat pada sinuwun, tapi yang aku tidak hormat pada Kintoko Dewo. Kata-katamu tadi menyebut Prabu Kresna dan Semar benar-benar mengusik pendalamanku,” jawab Bagong.

Bagong melanjutkan, "Berarti aku yang keliru. Apa yang didawuhkan Prabu Dwarawati benar. Begawan Kintoko Dewo ini palsu. Dari luar saja sok suci tapi hatinya kejam.”

"Apa maksudmu, Bagong. Kowe kan cantrikku, harusnya membelaku,” jawab Kintoko Dewo dengan lemah lembut.

"Cantrik mbelgedhes. Ora sudi aku jadi baturmu. Tujuanmu menghentikan perang Baratayudha cuma ingin menumbalkan Prabu Kresna dan Semar. Itu ilmu gathuk darimana,” sindir Bagong.

"Eh, Bagong. Ini bukan ilmu gathuk. Kalau marcapada ingin tentram dan damai, tidak ada perang, tidak dihuni orang-orang radikal, ya harus menumbalkan Kresna dan Semar. Sebab keduanya adalah penghasut dan radikal,” timpal sang begawan.

"Gundulmu melocot. Prabu Dwarawati adalah orang suci. Titisan Dewa Wisnu. Bagaimana mungkin dia disebut penghasut perang. Semar, meskipun hanyalah punokawan, wong kere, tapi dia juga orang suci. Dia titisan dewa. Meski aku sering njambal, sering panggil dia Mar Mer, tapi aku sangat menghormatinya melebihi nyawaku sendiri, bahkan aku rela pertaruhkan nyawa demi bapakku. Jadi cangkummu yang hati-hati kalau bicara,” mata Bagong mulai mendonong, tampak emosi tidak tertahan.

Tiba-tiba Werkudara berdiri di hadapan Bagong. "Bagong. Jaga nadamu. Hati-hati kalau bicara dengan orang suci. Sampai kata-katamu tidak sopan, tak injak kapok kowe, biar modar sekalian,” ancam Werkudara.

"Ndoro, aku bukannya tidak sopan. Tapi mereka yang tidak sopan. Ndoro Werkudara dan Janaka dibohongi sama Kintoko Dewo,” kata-kata Bagong tidak melunak, bahkan semakin keras.

"Kowe berani sama junjungamu. Tak sobek-sobek lambemu dengan Kuku Pancanaka, Bagooong!” Teriak Werkudara.

Mendengar ancaman Werkudara dan nada bicaranya semakin meninggi, Bagong keder dan langsung kabur. Dalam pelarian Bagong hanya bisa menyesali diri.

"Duh Gusti, salahku apa ya. Prabu Werkudara kok ngamuk. Petruk, Gareng, kalian dimana? Aku mau dibunuh sama Raden Werkudara dan Raden Janaka,” sedih Bagong.   

Karena yang dihadapinya adalah ksatria Ngamarta yang notabene junjungannya, Bagong berniat melaporkan hal tersebut ke Prabu Dwarawati.

Di sana, Bagong bertemu Prabu Dwarawati, Semar dan Prabu Mandura tak lain Baladewa. Dengan nafas masih terengah-engah, Bagong duduk di hadapan mereka sembari mengapurancang.

Bagong pun mulai menceritakan duduk permasalahannya.

Noviyanto Aji
Wartawan