Kasus Pencabulan Bukan Delik Aduan, Meski Ada Mediasi Tetap Tidak Bisa Hapus Pidananya 

Amira Paripurna/Ist
Amira Paripurna/Ist

Perdamaian dalam kasus dugaan pencabulan terhadap anak di bawah umur yang diduga dilakukan salah satu dosen PTN Jember, tidak bisa menghapus pidananya. Justru jika pelaku ada hubungan darah, orangtua, wali, pengasuh, pendidik terhadap korban, ancaman hukumannya harus ditambah sepertiga ancaman hukuman maksimal. 


Demikian ditegaskan Dosen Hukum Pidana, Viktimologi dan Hukum Pidana Anak Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Doktor Amira Paripurna pada Kantor Berita RMOLJatim, Jumat (9/4).

Amira menjelaskan, kasus pencabulan yang korbannya anak di bawah umur bukan delik aduan. Sehingga meski terjadi mediasi perdamaian, hingga orang korban atau korban mencabut laporannya, maka pidananya tidak serta merta hilang.

"Tidak ada istilah pencabutan, polisi wajib melanjutkan penyelidikan dan penyidikan kasus tersebut, manakala sudah cukup bukti," katanya. 

Dia menjelaskan, kasus pencabulan dengan korban anak di bawah umur menggunakan Undang-undang perlindungan anak. Apabila pelaku ada hubungan keluarga seperti orangtua kandung, wali, orangtua asuh dan pendidik, maka hukumnya harus diperberat. 

Hal ini sesuai ketentuan undang-undang perlindungan anak, ditambah sepertiga dari ancaman maksimal 15 tahun penjara, dengan pidana denda Rp 5 miliar.

"Ada tambahan hukuman 5 tahun penjara," ujar Amira yang juga peneliti di Pusat Studi HAM, Fakultas Hukum Universitas Airlangga.

Ditambahkan Amira, kalau polisi sudah mengantongi minimal 2 alat bukti dan akan menggelar perkara, maka status terlapor bisa dinaikkan sebagai tersangka dan bisa ditahan.

Amira juga menjelaskan hukum pidana saat ini memang ada penyelesaian menggunakan pendekatan restorasi justice, seperti penyelesaian secara diversi.

Namun pendekatan ini hanya berlaku pada kasus peradilan anak, atau pelakunya masih anak di bawah umur. Sedangkan kasusnya perkara tindak pidana ringan (tipiring). Tapi dalam kasus ini pelakunya adalah orang dewasa, sehingga kasus pencabulan tidak bisa diselesaikan secara diversi.

Karena itu, dia mendesak pihak kepolisian supaya bertindak tegas terhadap pelaku tersebut. 

"Hal ini sebagai upaya menghilangkan kekerasan seksual," tutup wanita asal Jember ini.

Sebelumnya, seorang calon profesor sebuah PTN ternama di Jember berinisial RH menjalani pemeriksaan sebagai saksi di Mapolres Jember, Kamis (8/4). Pemeriksaan ini sebagai buntut laporan korban, karena diduga melakukan pelecehan seksual, perbuatan cabul, dengan modus terapi kanker payudara.