Petisi Berselimut Pilihan Politik Berbeda

Prof Koentjoro dan civitas akademika UGM saat membacakan "Petisi Bulaksumur" yang ditujukan kepada Jokowi/Ist
Prof Koentjoro dan civitas akademika UGM saat membacakan "Petisi Bulaksumur" yang ditujukan kepada Jokowi/Ist

HANYA ada dua kelompok besar aspirasi politik, yaitu pernyataan sikap yang setuju mendukung paslon hasil survei ranking pertama. Kemudian kedua adalah pernyataan sikap dalam bentuk petisi, atau yang menyatakan oposisi dalam bentuk penyampaian gerakan etika dan moralitas terhadap kelompok pertama tadi. 

Kelompok yang terakhir ini, boleh jadi adalah pendukung paslon “koalisi” jika pemilu satu putaran tidak tercapai, atau pun kelompok sama sekali bukan pemilih siapa pun paslon yang tersedia dalam Pilpres (golput dan “undecided voters”).

Masalahnya adalah kegencaran penyampaian aspirasi yang menggunakan istilah gerakan etika dan moralitas, sungguh sangat sulit dibedakan atas dasar motif kepentingan pilihan politik yang berbeda.

Petisi Bulaksumur, UII, UI, Unhas, dan mungkin akan berlanjut ke civitas akademika lainnya, seperti Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Universitas Padjadjaran. Namun peristiwa aspirasi itu tetap sungguh sulit dibedakan terhadap upaya untuk mendukung paslon “koalisi”.

Secara sangat sederhana, peristiwa mundurnya Mahfud MD dari kabinet, kemudian didorong berbagai aspirasi untuk diikuti mundurnya Ahok, atau rumor terhadap beberapa menteri lain.

Sekalipun rumor mundurnya beberapa menteri lainnya dibantah oleh istana, namun strategi meniru tekanan mundurnya para menteri, pernah berhasil membuat Soeharto menyatakan berhenti sebagai presiden. Strategi yang sama hendak diulangi pada momentum penyampaian pernyataan-pernyataan sikap.

Penyampaian aspirasi oleh beberapa orang dan terjadi pada wilayah yang semakin meluas, itu hendak dijadikan pembenaran bahwa pemerintah dikonstruksikan sudah sama sekali tidak mempunyai legitimasi etika dan moralitas.

Pemerintah dipicu untuk menyatakan berhenti. Strategi ini dipraktekkan setelah petisi 100 gagal memakzulkan Joko Widodo menggunakan penyampaian aspirasi menggunakan media sosial, ke DPR, DPD, MPR, dan Menko Polhukam.

Mengatasnamakan sebuah universitas, bukanlah otomatis merupakan aspirasi mayoritas yang ada di universitas tersebut, melainkan indikasi adanya aspirasi pilihan politik yang berbeda.

Pada sisi yang lain, gerakan demokrasi dan penyampaian aspirasi dalam bentuk aksi politik terbukti bukanlah kegiatan yang terlarang lagi di lembaga pendidikan tinggi. Bukan hanya yang dipraktekkan oleh para aktivis mahasiswa, melainkan sudah disampaikan oleh sebagian guru besar.

Ada tiga peristiwa penting yang memicu. Pertama, konstruksi bahwa keputusan Mahkamah Konstitusi (MK), yang memungkinkan Gibran Rakabuming Raka maju terdaftar di KPU sebagai Cawapres Paslon 02.

Podcast-podcast yang tersebar secara bebas terkesan berhasil mengkonstruksikan telah terjadi pelanggaran etika dan moralitas berat, dibandingkan tindakan untuk melaksanakan keputusan MK.

Itu sekalipun Keputusan MKMK diputuskan dengan cara tidak sesuai dengan kaidah peraturan MK yang berlaku. Aspek hukum tertulis dikalahkan oleh berbagai informasi yang memberatkan atas dasar pertimbangan gerakan etika dan moralitas.

Meskipun ada kode etik yang tertulis, namun pertimbangan etika dan moralitas yang dapat sangat beragam bergantung pada nilai-nilai, norma-norma, kepentingan aspirasi politik yang berbeda, kemudian dijadikan panduan sebagai keberadaan yang diberlakukan di atas hukum tertulis.

Hukum yang merupakan kesepakatan nasional di antara parpol pemenang pemilu bersama pemerintah.

Kedua, adalah sulitnya menggagalkan hasil survei paslon rangking pertama dapat digantikan oleh ranking kedua dan ketiga. Bahkan hasil survei satu putaran yang menguat pun diikuti oleh kegiatan kampanye yang mendikreditkannya.

Ketiga, penyaluran bansos yang menggunakan simbolisasi presiden telah terkesan menimbulkan banyak kemarahan dari kelompok pendukung paslon, yang tidak kunjung berhasil masuk ranking pertama.

Sekalipun bansos merupakan program pengentasan kemiskinan dan sesungguhnya menjadi agenda semua parpol bersama pemerintah, namun keikutsertaan presiden berkampanye dan menguatkan prediksi hasil survei ke kemenangan satu putaran, maka terjadilah gelombang strategi yang pernah digunakan untuk menjatuhkan Soeharto pada tahun 1998.

Asumsi yang digunakan adalah Joko Widodo tidak mungkin menang mengalahkan “semua” orang, walaupun faktanya adalah bukan aspirasi dari semua orang. Ini adalah gerakan yang semakin panas, yang mungkin menjadi pukulan gong besar, menjelang pencoblosan pemilu 14 Februari 2024.

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), pengajar Universitas Mercu Buana