Komplotan Ordal

Rosdiansyah/Ist
Rosdiansyah/Ist

INI masih mengupas isi ujaran Anies dalam debat 12 Desember 2023. Kali ini, soal fenomena 'Orang Dalam' (Ordal). Anies satu-satunya calon presiden (capres) yang tegas menyatakan jangan lagi ada ordal di masa mendatang. Sebab, kehadiran ordal dalam birokrasi kenyataannya lebih banyak mudharat daripada manfaat. Menghambat akses tiap warganegara yang butuh meluruskan kebijakan bengkok penguasa. Ordal hanya menciptakan favoritisme, like and dislike.

Selama ini, fenomena ordal sudah bukan rahasia lagi. Ia hadir dalam birokrasi menjadi makelar penghubung kebutuhan seseorang atau sekelompok orang pada kerja-kerja birokrasi. Dampak keterlibatan ordal, muncul keistimewaan (previlese) terhadap orang atau sekelompok orang. Mereka memperoleh perlakuan istimewa, sedangkan yang lain diperlakukan biasa-biasa saja atau harus mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan.

Hak diperlakukan istimewa tak berlaku pada orang kebanyakan. Khusus pada orang atau kelompok tertentu. Dan perlakuan khusus ini memang bukan hanya terjadi pada masa kini, sebab fakta sejarah menunjukkan perlakuan serupa sudah berlangsung lama. Hanya saja, belakangan perlakuan istimewa kian menguat. Ketika para pendukung, buzzer atau influencer diperlakukan khusus sedari awal rezim ini berkuasa. Alasannya, rezim butuh orang atau kelompok orang yang bisa mengkomunikasikan program atau kebijakan rezim ke khalayak melalui media.

Ketika sudah berada di dalam birokrasi, para pendukung rezim kian memperkuat fenomena ordal. Untuk segala urusan, mereka menciptakan jalur khusus dari warga ke internal birokrasi. Itu pun mereka masih harus menyeleksi warga yang hendak melapor. Tanpa melalui komplotan ordal, jangan harap urusan ke birokrasi bisa tuntas. Tak lewat geng ordal, jangan bermimpi urusan birokrasi jadi beres. Semuanya tergantung ordal.  

Soal ordal ini sebenarnya juga tak lepas dari preferensi. Pilihan atau kecenderungan. Saat membahas preferensi, filsuf sohor Peter Singer (1981) bercerita tentang pengalamannya. Kala itu ia akan makan malam dengan rekan-rekannya, namun mendadak ayahnya melepon. Sang ayah sedang sakit, minta ditemani. Singer harus memilih. Makan malam bareng teman atau menjenguk ayahnya. Singer berpikir, ayahnya tentu kecewa berat jika tak ditemani, maka Singer memutuskan menemani ayahnya.

Dalam kisah Singer itu, terlihat pilihannya bukan dikarenakan Singer menempatkan sang ayah pada posisi istimewa secara emosional sebagai orang-tua. Melainkan, Singer menentukan pilihan berdasar perhitungan rasional dan logis. Bahwa sang ayah lebih membutuhkan kehadirannya, ketimbang teman-temannya. Dalam konteks ordal, yang terjadi bukan pertimbangan rasional atau logis berdasar kebutuhan prima penerima manfaat layanan birokrasi. Ordal memakai perasaan, kedekatan emosional, sentimen pribadi atau kesukaan.

Oleh karena itu, gerombolan ordal dalam birokrasi merupakan jenis penyakit yang dulu subur di masa Orde Lama dan Orde Baru. Biasa dikenal koncoisme dan nepotisme, yang justru penyakit ini hendak dikikis habis usai reformasi. Dan Anies menguatkan kembali tekad reformasi itu.

Peneliti di Surabaya