Krisis Ukraina-Rusia, Direktur Operasi SIER: Kolaborasikan Bisnis Antar Provinsi, Indonesia Harus Siap Perang Dagang

Didik Prasetiyono / ist
Didik Prasetiyono / ist

Direktur Operasi PT Surabaya Industrial Estate Rungkut (SIER), Didik Prasetiyono menegaskan, jika saat ini sudah tidak lagi eranya entitas bisnis di setiap provinsi Indonesia saling bersaing mematikan. 


Namun semuanya harus berkolaborasi untuk membangkitkan perekonomian Indonesia menghadapi perang dagang akibat krisis Ukraina-Rusia.

Untuk itu, Didik memberikan apresiasi kepada Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPM PTSP) Provinsi Jatim, yang telah menggelar acara Business Forum dan Matchmaking antar Dunia Usaha yang melibatkan Provinsi Jatim dengan Provinsi Jawa Tengah dan Provinsi Jawa Barat, di Patra Semarang Hotel and Convention, Kamis (17/3).

Didik yang diundang menjadi salah satu narasumber tersebut menyebut, kegiatan yang diinisiasi DPMPTSP Pemprov Jatim ini adalah sebuah terobosan baru, untuk saling memajukan dunia bisnis. Tidak hanya untuk Jatim, tapi juga dua provinsi lain yakni Jawa Tengah dan Jawa Barat.

"Kita saat ini sudah tidak lagi bicara persaingan bisnis dengan provinsi A atau provinsi B, tapi sudah seharusnya bersaing dengan India, Thailand, Vietnam, Malaysia atau Taiwan. Persaingan dengan negara-negara lain itu bisa tercipta jika kita saling berkolaborasi," ujar Didik,  saat memberikan paparannya dihadapan pelaku bisnis Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat.

Didik mengatakan sebanyak 50 kawasan industri Indonesia berada di Pulau Jawa dengan total 26.127,40 hektare. Luas tersebut setara dengan 72 persen dari total luas kawasan industri seluruh Indonesia.

Sedangkan PT SIER, kata Didik, mengelola hampir seribu hektar kawasan industri yang terletak di Surabaya, Sidoarjo dan Pasuruan. "Kita harus siap dengan sumber daya yang kita miliki untuk membangun kolaborasi, kita harus bersatu untuk memenangkan perang gaya baru ini yaitu perang dagang, bersama harus kita lindungi kepentingan ekonomi nasional kita," ujarnya. 

Dijelaskannya, ada sejumlah investor asing yang telah mengembangkan bisnisnya di SIER dan Pasuruan Industrial Estate Rembang (PIER). Seperti dari Australia, Belanda, Prancis, Jepang, Itali, Denmark, Jerman, Belgia, Malaysia, Swiss, Korea Selatan, Amerika Serikat, Taiwan, Singapura, Hongkong, Cina dan India mayoritas menginginkan iklim investasi yang sehat.

Menurut dia, iklim investasi yang sehat harus didefinisikan sebagai kebijakan permudahan regulasi, ketegasan institusional termasuk menjaga kondusifitas keamanan investasi, dan kondisi lingkungan diantaranya kualitas sumber daya pekerja yang secara signifikan akan berpengaruh terhadap tingkat pengembalian investasi dan manajemen risiko yang dihadapi.

Oleh karena itu, kata Didik, mayoritas pelaku bisnis biasanya mengandalkan data untuk menentukan apa yang harus dilakukan dengan sumber daya bahan baku, pemasaran, dan alokasi sumber daya manusia mereka. Wawasan data yang tidak akurat dapat menyebabkan strategi bisnis yang salah, karena tidak menyajikan apa yang terjadi dalam kenyataan, menyebabkan para pemimpin membuat keputusan secara membabi buta.

"Ungkapan -bad data is leading to bad decision making-, adalah bentuk nyata kekhawatiran investor dalam menempatkan investasinya di suatu negara, nah disini peran pemerintah dalam menyajikan data yang valid dan sesungguhnya menjadi penting. Apalagi ini ada implikasi invasi Rusia ke Ukraina telah melahirkan pencarian keseimbangan baru ekonomi, krisis energi dan krisis bahan komoditi sudah terjadi di eropa dan mulai menjalar secara global," ungkapnya.

Kondisi geopolitik ini, lanjutnya, menjadi pukulan khususnya ke industri yang memiliki ketergantungan pada minyak bumi, gas, batubara, alumunium, kobalt, tembaga, nikel, emas, titanium, baja, pupuk, gandum dan jagung.

"Rusia dan Ukraina adalah pemain utama global level produsen dan sektor-sektor tersebut terimbas karena sanksi embargo dan pembatasan rantai pasok logistik. Kondisi ini bisa menjadi momen bagi Indonesia untuk masuk mengembangkan bisnis ke luar negeri," pungkas Alumni Fakultas Ekonomi Universitas Airlangga ini.