Pemimpin Indonesia Era Transformasi, Membangun Bangsa dan Negara Harus dari Bawah

Diskusi publik kebangsaan
Diskusi publik kebangsaan

Pemimpin Indonesia harus memahami bahwa membangun bangsa dan negara harus dari bawah. Dan menjadikan desa sebagai ruh pembangunan nasional.


Hal itu yang tercetus dalam Diskusi Publik Format Kepemimpinan Nasional Pemilu 2024 yang diselenggarakan Pemuda Demokrat Indonesia Jawa Timur di Wisma Marinda Surabaya, Rabu 6 April 2022.

Diskusi publik ini menghadirkan tiga pembicara, diantaranya Dr. Ir. H. Muhammad Lukman Edy, M.Si mantan Menteri Menteri Percepatan Daerah Tertinggal pada Kabinet Indonesia Bersatu yang saat ini menjabat sebagai Komisaris Utama PT Hutama Karya, Prof. Dr. Mustain Mashud, M.Si selaku Ketua Pusat Studi Transformasi Sosial dan Pengembangan 

Masyarakat FISIP UNAIR dan Andi Yuwono Ketua Umum Asosiasi Desa Wisata (ASIDEWI).

Dalam paparannya, Andi Yuwono menyampaikan bahwa desa secara pelan dan pasti terbukti telah menjadi tulangpunggung pemulihan ekonomo nasional. Desa wisata juga memiliki peran signifikan sebagai motor pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19.

"Ini sebuah harapan. Kebangkitan ekonomi bisa diawali dari desa. Jadi, desa membangun Indonesia adalah sesuatu yang konkrit," katanya, dikutip Kantor Berita RMOLJatim, melalui rilis tertulisnya.

Menurut Andi, membangun Indonesia dari pinggiran (desa) harus menjadi fokus yang sangat strategis bagi pemimpin yang akan datang.

Mantan Korda GMNI Jatim ini mengatakan, bahwa saat ini desa menjadi sesuatu yang seksi. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 telah membuat desa menjadi sebuah konsentrasi. Dimana desa tidak hanya menjadi wilayah adminstratif, tetapi telah menjadikanya menentukan masa depannya sendiri.

"Undang-Undang Desa menjadi angin segar. Desa sudah bisa berinovasi. Desa bisa menentukan bagaimana masa depannya. Desa menjadi ruang lingkup tempat hidup yang menghidupi," paparnya. 

Andi tidak menampik bila dua tahun pandemi COVID-19 telah membuat sendi-sendi kehidupan lumpuh. Bahkan Indonesia yang memiliki potensi wisata yang hebat pun tidak menunjukkan kekuatannya. Tetapi, tegas Andi, masih ada bukti yang bisa menyelamatkan ekonomi nasional, yaitu desa.

"Desa dan desa desa wisata bisa bertahan di tengah pandemi. Desa memiliki UKM, produk2 kreatif. Kita punya gerakan, bela beli produk desa. Memang kebangkitan ekonomi bisa diawali dari desa. Jadi sekali lagi, desa membangun Indonesia itu adalah sesuatu yang konkrit," tegasnya.

Andi menyampiakan, dari 8 ribu lebih desa di Indonesia, 3.491 diantaranya adalah desa wisata. Selain potensi wisata, dari masing-masing desa tersebut memiliki UKM, UMKM dan produk-produk kreatif. Maka, bila ribuan desa tersebut kompak dan diberdayakan, maka permasalahan ekonomi di Indonesia akan selesai. 

"Desa yang bisa menghadirkan kesejahteraan tersebut perlu didampingi oleh perguruan tinggi yang punya peta jalanya dan juga BUMN yang mempunyai kewajiban secara moral yaitu CRS. Bila unsur pentahelix inimenyatu maka desa akan menjadi sesuatu yang membanggakan bagi ruang kehidupan dan bisa menghidupi," ujarnya.

Andi menegaskan, bahwa siapa pun pemimpinnya, bila mengerti cara membangun negara dari bawah, pro rakyat dan mengedepankan desa sebagai ruh pembangunan nasional, Indonesia akan berada pada rule yang jelas.

"Kita di desa, siapa pun pempimpinnya, ketika konstitusi diamanatkan dengan baik maka hasilnya akan sama. Warga desa tidak terjebak pada kontelasi politik. Desa akan mengawal isu-isu desa, yaitu desa wisata," pungkasnya. 

Lalu Profesor Mustain Mashud menambahkan, bahwa pemimpin nasional harus paham betul kondisi wilayah dan masyaraktnya bila ingin menjadikan Indonesia maju dan lebih baik. Hal itu pernah dicontohkan oleh Presiden Soekarno.

Menurut Mustain, Bung Karno adalah pemimpin yang pikiran dan imajinasinya dekat dengan rakyat. Sebagai presiden ia sadar betul bahwa tidak mungkin membangun bangsa yang besar tanpa mengajak seluruh rakyatnya.

"Saat era Bung Karno, 80 persen rakyat Indonesia adalah petani, agraris. Anehnya, 80 persen petani tersebut sebagian besar tidak memiliki lahan. Pertanyaannya apa yang harus dilakuan agar bisa membagun negara dari bawah? Maka Bung Karno menerapkan kebijakan Reformasi Agraria," ungkap Mustain.

"Maksa saat itu Reformasi Agraria menjadi sebuah keniscayaan. Baru setelah rakyat punya lahan, punya pancing, baru nagara dibangun," tambahnya.

Mustain mengakui memang Reformasi Agraria saat itu tidak sepenuhnya berhasil karena berbagai persoalan. 

"Pertanyaannya mengapa tidak berhasil? Reformasi Agraria di Hongkong, Taiwan dan Korea bisa berhasil karena pengusaan lahan di negara itu adalah swasta. Sehingga ketika dibeli dan diserahkan kepada rakyat, ya selesai. Sedangkan di tanah Indonesia milik tentara. Karena itu reformasi agraria kita tidak berhasil," jelasnya.

Banyaknya tanah yang dikuasai tentara itu kemudian dimanfaatkan oleh Presiden Soeharto sebagai kekuatan membangun ekonomi. 

"Pak Harto tahu betul bagaimana membangun Indonesia, ekonominya pas-pasaan, politik nggak stabil, moralnya hancur, jadi mana yang dulu dikerjakan? Jadi mana yang didahulukan, politik, moralnya atau ekonomi dulu? Ini dilema betul. Tapi kalau moralnya dulu tapi ekonominya jelek pasti moralnya tidak akan bagus. Maka ekonominya dulu yang digarap," kata Mustain. 

Makanya, lanjut Mustain, untuk menumbuhkan ekonomi salahsatu cara yang dilakukan Soeharto adalah menguatkan stabilitas politik dengan sebuah alat, yaitu tentara. "Itulah cikal bakal problematika pembangunan Indonesia dari atas ke bawah," jelasnya.

"Jadi mau tidak mau, pembangunan Indonesia berasal dari luar negeri. Segela sesuatunya, duit, teknologi dan ahli dari luar negeri. Kemudian setalah berhasil menjadi masalah," ujarnya. 

Saat era Soeharto, dalam membangun Indonesia, negara barat dari segala aspek. Mulai dari teknologi, menagejemen dan SDMN-ya. 

"Itu artinya seperti membangun di Surabaya, membangun di Pacitan. Bukan membangun Surabaya atau Pacitan. Mereka numpang. Tempatnya saja di sini modalnya dari sana. Itu problem mendasar subtansial karena ideolgi. Ketika Orde Baru desa menjadi tertinggal. Bahkan desa menjadi korban dan dikorbankan selama 30 tahun lebih. Karena itu, pemimpin Indonesia saat ini harus bisa membangun Indonesia dari bawah, bukan dari atas," tegasnya.

Sementera itu, Lukman Edy sependapat bila di era transformasi saat ini, pemimpin harus memiliki visi dan misi membangun Indonesia dari bawah. Bukannya memberdayakan desa, tetapi pemimpin kedepan juga harus bisa memaksimalkan peran 'sokoguru' perekonomian nasional, yaitu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk membangun bangsa.

"BUMN adalah sepertiga kekuatan ekonomi bangsa. Setiap tahun BUMN menyumbangkan lebih dari Rp 300 triliun untuk APBN walaupun asetnya belum aple to aple dengan keuntungan yang disetorkan kepada negara karena 

aset BUMN 80 persen merupakan aset negara," sebutnya.

Menurut Lukman Edy, pemimpin Indonesia kedepan harus paham betul apa yang harus dilakukan di era transformasi digitak sekaligus menghadapi tantanganya.

Masyarakat di era transformasi, lanjut Lukman Edy, sangat dinamis, memiliki perspektif dan kemauan yang berbeda.

"Saya kemarin debat bersama Adian Napitupulu di salah satu stasiun televisi tenteng wacana perpanjangan jabatan presiden menjadi tiga periode. Adian bilang ke saya kalau seluruh aktivis 98 tidak setuju dengan perpanjangan masa jabatan presiden. Saya bilang secara substansi sih oke tidak setuju. Tapi jangan bawa-bawa lagi 98, anak-anak sekarang sudah nggak paham Revormasi 98. Anak-anak sekarang yang akan dominan di Pemilu 2024 itu tumbuh dengan perspektif sendiri. Refoemasi 98 dianggap oleh mereka hanya tinggal sejarah. Sudah selesai, saya bilang begitu," kata Lukman. 

Politisi PKB ini mengatakan, sejak merdeka tahun 1945, Indonesia mengalami siklus 20 tahunan. Dari Pasca kemerdekaan atau era Orde Lama, kemudian muncul Orde Baru sekitar tahun 1966. 

"Saya lahir tahun 1970, saya tidak tahu apa yang terjadi di tahun 66. Saya hanya mendapat cerita dari bapak dan orang-orang mengenai demo menjatuhkan pemerintahan Soekarno. Nah yang saya alami ini sama dengan anak-anak milenial yang tidak tahu persis revormasi 98. Anak milenial hampir tidak tahu perjuangan anak 98 menumbangkan orde baru yang berkuasa 32 tahun," jelasnya. 

Pasca era roformasi, kata Lukman, Indonesia akan memasuki era baru, yaitu era transformasi. Era ini patut dipahami dan dipelajari oleh pemimpin selanjutnya.

"Jadi kalau boleh kita mensekat-sekat siklus 20 tahunan ini, ada era orde lama, era orde baru, ada reformasi dan sekarang 

kita harus siap-siap memasuki orde yang terbaru lagi, yaitu orde transformasi," katanya.

Kata Lukman, era transformasi yang yang dominan generasi milenial ini membuat partai-partai politik kebingungan. "Mereka sangat dinamis Kadang bergerak ke kiri, kadang bergerak ke kanan," ujarnya.

Namun satu hal yang perlu dicermati adalah generasi milenial ini justru care dengan politik identitas. Mereka akan menanyakan agama calon presiden. Menurut Lukman, masalah ini menjadi tantangan bersama khususnya calon pemimpin Indonesia.

"70 persen milinial tanya calon pemimpin agamanya apa, berarti ini ada persoalan. Mau dibawa kemana bangsa ini di era transformasi ini bila generasi mudanya masih memiliki pikiran politik identitas," ujarnya.

Menurut Lukman, ada tiga hal pendekatan yang harus dilakukan pemimpin di era transformasi, yaitu aspek input, proses dan output (hasil).

Dalam aspek input, pemimpin yang dibutuhkan adalah sosok yang mampu menetapkan dan menyusun filosofis-filosofis bagi segenap bangsa ini. 

"Kita punya filosofis grondslag yaitu Pancasila. Tetapi untuk era transformasi harus ada turunannya. Pemimpin di era 

transformasi harus bisa menetapkan dan menyusun filosofis-filosofis sehingga ada semangat baru. Harus ada prinsip-prinsip baru yang ditanamkan pada anak-anak milenial. agar kita punya semangat bersama 

untuk membangun bangsa," jelasnya. 

"Kita harus cermati kalau misalnya ada formum-forum membuka, atau ruang diskusi tentang calon-calon presiden patut kita kejar fikiran dasarnya calon pemimpin itu apa, kejar folosofisnya apa untuk menjadi calon presiden Indonesia kedepan. Ini adalah kebutuhan yang penting bagi kita," tambahnya.

Lalu aspek proses, kata Lukman, adalah adalah proses perubahan. Menurut Lukman, calon pemimpin harus care dengan proses perubahan atau transformasi ini. Salah satu contoh nyata adalah selama 2 tahun dihantam pandemi COVID-19, semua proses berubah menjadi serba digital. 

"Pendekatan kampanye, pendekatan sosial, politik sudah secara penuh menggunakan teknologi digital itu. Bila pemimpin tidak cere dengan perubahan ini maka Indonesia akan menjadi negera tertinggal. Dengan perubahan ini, revormasi industri 4.0 bahkan 5.0 lebih cepat terjadi pasca pandemi. Fasiltas teknologi komunikasi digital harus digunakan untuk proses-proses berbangsa dan bernegara kita juga. Sehingga pemimpun sudah harus care dengan proses perubahan untuk menuju era orde transformasi nanti," jelasnya.

Soal aspek output atau hasil, menurut Lukman, adalah ketika bangsa berhasil menetapkan fikiran-fikiran filosofis untuk membangun Indonesia di era transformasi dengan menggunakan teknologinya secara maksimal. 

Lukman juga menyebut empat tantangan yang harus dihadapi di era transformasi, diantaranya politik identitas dan intoleransi, lalu kebebasan media sosial dan yang terakhir adalah era digital.

Nah di era transformasi digital ini, Erick Thohir sebagai Menteri BUMN menyumbangkan transformasi, yaitu membuat BUMN tidak menjadi beban negara, tetapi BUMN memberikan kontribusi yang maksimal buat pembangunan bangsa dan negara.

"BUMN kita sepertiga kekuatan ekonomi bangsa. Setiap tahun BUMN menyumbangkan lebih dari Rp 300 triliun untuk APBN walaupun asetnya belum aple to aple dengan keuntungan yang disetorkan kepada negara. Karena aset BUMN 80 persen dari aset negara," jelasnya.

Ia mengungkapkan, bahwa aset BUMN mencapai Rp 8 ribu triliun. Sedangkan aset negara sebesar Rp 11 ribu triliun. Sehingga idelnya, BUMN menyumbangkan keuntungan sekitar Rp 1.000 triliun per tahun kepada negara.

Menurut Lukman, saat ini, Erick Thohir sebagai Menteri BUMN menyumbangkan transformasi yaitu membuat BUMN tidak menjadi beban negara, tetapi BUMN memberikan kontribusi yang maksimal buat pembangunan bangsa dan negara.

"Aspek input (hasil) sudah tergambar dalam BUMN. Aspek filosofisnya Erick Thohir mengkampayekan 'AKHLAK' (Amanah, Kompeten, Harmonis, Loyal, Adaptif, Kolaboratif) sebagai core values aspek moralitas. Artinya BUMN bisa memberikan kontribusi maksimal kepada bangsa dan negara kalau aklaknya atau moralitas pengelola-penglola bUMN benar-benar terjamin," paparnya. 

Kata Lukman, apa yang diterapkan Erick Thohir di BUMN tersebut saat oleh Jokowi telah ditransfer menjadi core values di pemerintahan. Jadi, ASN di Indonesia core valuesnya adalah aklak.   

"Nah bagaimana kepemimpinan nasional sudah mengakomodasi problematika transformasi tadi? Kita harus lihat bagaimana seleksi kepemimpinan nasional itu melalui partai politik atau yang non partai politik. Yang parpol ada Prabowo, Puan Maharani, yang non parpol ada Anies Baswedan, Ganjar Pranowo dan Erick Thohir. Milenial harus rasional. Kita seleksi seperti apa kedepanya, apakah mereka sudah cukup memberikan jawaban terhadap kepentingan dan kebutuhan orde transformasi yang akan terjadi pasca 2024 nanti. Kita kembalikan kepada masyarakat," pungkas Lukman Edy.

Sementara itu, Ketua Pemuda Demokrat Indonesia Jawa Timur Vabianus Hendrix juga sependapat bila pemimpin Indenesia kedepan haruslah figur yang care terhadap ere tranformasi teknologi, memiliki fikiran filosofis serta mampu memberdayakat kekuatan bangsa untuk membangun Indonesia.