Kerawanan Pangan

Foto ilustrasi/Net
Foto ilustrasi/Net

ORGANISASI Pangan Dunia memperkirakan persentase prevalensi kerawanan pangan parah terhadap jumlah penduduk dunia sebesar 11,7 persen tahun 2021. Angka tersebut jauh lebih besar dibandingkan prevalensi kerawanan pangan di Indonesia untuk tingkatan sedang atau berat, yang sebesar 6 persen tahun 2020.

Jumlah penduduk di Indonesia diperkirakan sebanyak 278,75 juta jiwa tahun 2022, sehingga jumlah penduduk yang rawan pangan sekitar 16,7 juta jiwa. Ini merupakan sebuah angka yang tergolong besar ketika persoalan krisis pangan di tengah peningkatan laju inflasi pangan dan krisis energi. Angka tadi mungkin kurang besar untuk kondisi perkiraan tahun 2022.

Informasi kerawanan pangan (beras) untuk 16,7 juta jiwa merupakan jumlah sasaran yang perlu ditanggulangi oleh Bulog untuk dilakukan kegiatan operasi pasar beras untuk keluarga pra sejahtera.

Operasi pasar sebagai jaring pengaman sosial setelah serangan pandemi covid-19 dan kedatangan varian covid-19 dalam menyambut krisis pangan dan krisis energi di Indonesia, apabila pemerintah bermaksud mencegah terjadinya dampak sosial atas potensi tanda-tanda kedatangan krisis ekonomi.

Potensi krisis ekonomi yang misalnya ditunjukkan melalui mekanisme kenaikan laju inflasi year on year, kenaikan harga BBM non subsidi, antrian BBM bersubsidi di SPBU, depresiasi nilai tukar rupiah yang menembus angka Rp 15.000 per dollar AS di Indonesia.

Bunyi terompet kejatuhan pemerintahan Sri Lanka telah berbunyi. Bunyi tersebut sebagai bukti terjadinya krisis pangan dan krisis energi telah terwujud di dunia nyata melalui mekanisme transmisi gagal bayar utang, yang diawali oleh masalah pandemi covid-19.

Krisis kesehatan masyarakat, yang berlanjut dengan krisis pangan dan krisis energi. Potensi efek domino dari krisis Sri Lanka perlu segera diantisipasi, yang antara lain dengan cara melakukan operasi pasar beras minimal untuk 16,7 juta jiwa penduduk Indonesia yang mengalami kerawanan pangan pada tingkatan sedang atau berat.

Ternyata, bukan hanya persoalan kerawanan pangan yang perlu segera direspons oleh pemerintah, termasuk program dalam menurunkan jumlah penduduk stunting, melainkan usaha membangun kemandirian dalam memproduksi alat-alat kesehatan dari sumber produksi dalam negeri perlu ditingkatkan.

Dewasa ini penguasaan izin produksi dan distribusi alat-alat kesehatan yang masih berjumlah sebanyak 6 persen, sehingga potensi lanjutan dari dampak negatif serangan krisis kesehatan masyarakat seperti pandemi Covid-19 dapat diturunkan di masa depan.

Usaha meningkatkan produksi alat-alat kesehatan ini penting, minimal Indonesia  telah sangat banyak belajar akibat ketergantungan yang sangat besar pada vaksin covid-19 dari sumber luar negeri.

Juga ketika atas peristiwa tidak mudahnya dalam memproduksi dan mendistribusikan vaksin penyakit kuku dan mulut pada hewan ternak besar, yang masih sedang berlangsung.

Penulis adalah peneliti Indef dan pengajar Universitas Mercu Buana