Dulu Minyak Tanah, Kini Minyak Goreng 

Ilustrasi antre minyak tanah tahun 1965 dan antre minyak goreng 2022/Ist
Ilustrasi antre minyak tanah tahun 1965 dan antre minyak goreng 2022/Ist

DULU, di era Sukarno, masyarakat antre minyak tanah. Era Jokowi, masyarakat antre minyak goreng. Dulu, masyarakat kesulitan mendapatkan minyak tanah. Sekarang, masyarakat kesulitan membeli minyak goreng atau persisnya harganya melambung.  Inilah yang diceritakan ibu ketika beliau masih muda di tahun 1965.

"Saya dulu pernah antre minyak tanah. Dari pagi hingga sore. Berjejer-jejer. Disuruh bulek beli minyak tanah. Eh, antrenya kayak ular," kenangnya.

Ibu bercerita, saat itu kondisi tahun 1965 sangat kacau. Apalagi di Madiun. Masyarakat kesulitan mendapatkan kebutuhan bahan pokok. Beras diimpor dari China dengan kualitas paling jelek. Sedang minyak tanah, belinya harus antre. 

Kala itu rata-rata penjual minyak tanah pendukung partai terlarang.  Setiap membeli minyak tanah, warga disuruh menulis nama dan tandatangan. Katanya untuk pendataan. 

Rupanya itu bagian dari propaganda PKI. Tandatangan itu dianggap bagian dari dukungan ke PKI. Akibatnya banyak orang yang tidak tahu menahu terciduk dalam pemberantasan PKI. 

Di era sekarang, situasinya tidak jauh beda. Di awal-awal krisis kemarin, minyak goreng 'menghilang'. Masyarakat kesulitan beli minyak goreng. Antre panjang. Mirip tahun 1965. 

Kebijakan demi kebijakan diubah. Akhirnya kebijakan diserahkan pada mekanisme pasar. Dan simsalabim. Minyak goreng yang langka tiba-tiba membeludak. Harga minyak goreng kemasan naik gila-gilaan. Masyarakat ogah beli. Kalau pun beli karena terpaksa. 

Orang-orang menilai pemerintah dikendalikan oligarki. Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi  dicopot dan diganti Zulkifli Hasan dari PAN.

Program "minyakita" diluncurkan dengan menjual minyak goreng curah. Semua masyarakat beralih ke minyak goreng curah. 

Kata ibu, nggak ada bedanya. Jaman dulu sebelum ada minyak goreng kemasan, kita sudah pakai minyak goreng curah. 

Hanya saja yang membuat ibu penasaran setiap pembelian minyak goreng, masyarakat diminta menyerahkan KTP. 

"Saya tidak paham KTP untuk apa?  Dulu kita didata setiap kali beli minyak tanah," urainya.

Yang dikhawatirkan ibu, kondisi minyak goreng ini akan dimanfaatkan pihak-pihak tertentu untuk melakukan propaganda.  Orang akan mencari dukungan politik melalui minyak goreng. Sama dengan jaman PKI. 

Tahun 1965 merupakan masa klimaks. Kelaparan terjadi di mana-mana. Masyarakat bertahan hidup dengan pangan seadanya. Hal itu ditandai dengan propaganda PKI yang mencari pengaruh politik.  

Syahdan, rakyat berontak. Mahasiswa mereaksi adanya propaganda PKI, operasi militer dan krisis ekonomi. Demo besar-besaran terjadi pada 1966. Mahasiswa menuntut Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura). Yakni Pembubaran PKI bersama ormas-ormasnya, Perombakan Kabinet Dwikora (Dwikora adalah jargon resmi operasi militer melawan Malaysia), dan turunkan harga pangan.

Penulis wartawan RMOLJatim