Wujud Antisipasi, Deradikalisasi Mantan Teroris di Indonesia Perlu Penanganan Khusus

Ilustrasi / net
Ilustrasi / net

Upaya rehabilitasi para mantan pengikut ideologi Islam ekstrimis di Indonesia memerlukan beberapa penyesuaian. Hal ini untuk mencegah kemungkinan mereka kembali ke kelompok radikal atau mengulangi kejahatan yang sama.


Associate Professor of Political Science and International Relations, Goucher College, Julie Chernov menyampaikan dalam seminar Jum'at (22/7), bahwa "upaya disengagement terorisme di Indonesia cukup unik karena budaya komunal yang sangat lekat dengan masyarakat," sehingga sulit secara penuh memisahkan kontak para mantan teroris dengan kelompok jihadistnya, katanya.

Julie menekankan proses disengagement atau deradikalisasi dilakukan secara bertahap dengan tidak memaksa para mantan teroris untuk sepenuhnya lepas dari kelompok lamanya. Melainkan upaya ini setidaknya dapat meredam keinginan mereka untuk berbuat anarkis seperti mengebom atau bunuh diri.

Julie telah melakukan penelitian disengagement di Indonesia sejak 2010 hingga 2020 dengan melakukan interview kepada 81 responden dari 12 grup ekstrimis Islam yang berasal dari 13 kota di Indonesia.

Dia menemukan bahwa proses disengagement harus melalui beberapa tahapan, dan para praktisi deradikalisasi (NGO) perlu memahami bahwa medan populasinya tidaklah mudah karena target dapat berubah dan dipengaruhi oleh lingkungan sekitar.

Menurutnya terdapat beberapa faktor yang mendorong berhasilnya disengagement di Indonesia. Pertama, dilatarbelakangi oleh munculnya kekecewaan yang dialami pelaku terhadap pemimpin atau ideologi yang dia anut yang akhirnya mendorongnya untuk menjauh.

Kedua, Julie menjelaskan bagaimana para pelaku mulai berpikir rasional mengenai keuntungan dan kerugian yang dia dapat ketika mengikuti jaringan atau komunitas ekstrimisnya.

"Ketika dia melihat bahwasanya orang di luar komunitasnya sangat sejahtera, hidup nyaman, sementara dirinya hidup bersusah payah, maka dia akan berpikir untuk pergi," papar Julie.

Kemudian faktor ketiga ialah jaringan sosial yang para pelaku miliki. Julie menekankan penting untuk memperluas jaringan sosial para pelaku agar mereka dapat mengkomparasikan dengan baik mana yang salah dan mana yang benar.

"Hanya jaringan sosial yang menjadi kunci proses deradikalisasi. Jaringan sangat penting untuk berhasilnya upaya disengagement dan reintegrasi," tegas Julie.

Terakhir Julie menjabarkan bahwa keluarga juga menjadi faktor yang sangat penting karena keberadaan pelaku di sekitar keluarga akan mengubah orientasi atau prioritasnya ke kehidupan yang lebih baik, sehingga dapat keluar dari jaringan ekstrimis tersebut.