The Ghost Writer

Foto ilustrasi/Net
Foto ilustrasi/Net

THE ghost writer atau penulis bayangan biasanya menulis untuk orang lain. Penulis bayangan muncul karena banyaknya permintaan. 

Mereka menulis sesuai pesanan. Rata-rata pemesannya publik figur. Bisa artis, pengusaha, pejabat, aparat, hingga politisi. 

Penulis bayangan sejatinya juga penulis. Untuk menjadi penulis bayangan, dibutuhkan portofolio tertentu. Misal, pernah menelurkan karya sendiri. Atau, mantan jurnalis. Ya, jurnalis yang punya karya literasi, mulai dari tulisan-tulisan jurnalistik, ilmiah, nonfiksi hingga sastra di medianya maupun media lain. 

Banyak penulis hebat berawal dari jurnalis. Tetapi sedikit penulis yang pernah menjadi jurnalis. 

Yang saya kenal secara langsung adalah Sastrawan Suparto Brata. Dia pernah menulis kritikan pada buku saya berjudul Kitab Tertutup Raja Dusta dan Dewi Kemunafikan.

Alm. Suparto Brata memiliki ratusan karya. Ada yang ditulis dalam bahasa Jawa. Sampai-sampai dijuluki Begawan Jawa. Satu karya yang menurut saya fenomenal yakni bukunya yang berjudul Tak Ada Nasi Lain. Suparto menceritakan, buku ini merupakan karya pertamanya. Ditulis pertama. Tetapi terbit paling akhir. 

Suparto pernah jadi jurnalis. Kemudian jadi penulis paling produktif dalam sejarah sastra Indonesia.  Bisa disejajarkan dengan Pramoedya Ananta Toer atau Kho Ping Hoo. 

Suparto bukan penulis bayangan, kendati sebenarnya mudah baginya  menjadi penulis bayangan. Baginya menulis adalah passion. Dilandasi cinta dan suka. Sebaliknya penulis bayangan didasarkan atas imbalan.

Penulis bayangan bukan pekerjaan hina. Mereka menjual jasa. Penulis bayangan profesional bisa mendapat imbalan mencapai ratusan juta hingga em-em-an. Tergantung apa yang ditulis. Bila menulis sejarah kota/kabupaten atau provinsi, tentu butuh biaya besar. Terutama untuk melakukan riset dan penggalian data. Bahkan riset bisa dilakukan hingga ke luar negeri. 

Kemampuan menulis autobiografi atau memoar seseorang menjadi tantangan bagi penulis bayangan. Menulis paling mudah adalah menulis untuk diri sendiri. Tetapi tantangan terbesar dari penulis adalah ketika menulis cerita orang lain. 

Zainuri, kawan saya semasa di media cetak Surabaya tahun 2003, memutuskan menjadi penulis bayangan. 

Nuri penulis naskah teater dan prosa. Dia juga pemain teater kawakan. Sewaktu di media dulu, dia biasa menulis kritikan-kritikan sosial. Tulisannya paling beda dari teman-teman lain.

Kemarin kita bertemu sambil ngopi-ngopi santai. Nuri bercerita, menulis untuk orang lain ternyata tidak mudah. Selain diatur oleh deadline yang mepet, dia juga harus membaca banyak literasi, terutama yang berkaitan dengan tokoh utamanya. Jadi harus benar-benar mengenal sang tokoh utama.

"Ada bidang-bidang tertentu dari sang tokoh yang tidak saya ketahui. Terpaksa saya harus belajar lagi. Belum lagi saya harus melakukan interview dari sang tokoh dan orang-orang di sekelilingnya," kata Nuri.

Ya, begitulah pekerjaan penulis. Semakin banyak referensi, semakin banyak bahan untuk ditulis. Sebenarnya tidak ada beda antara penulis mandiri dan penulis bayangan. Metode yang digunakan sama. Penulis selalu melakukan riset terlebih dahulu. Lalu pulbaket (pengumpulan bahan dan keterangan) dari berbagai sumber. 

Soal kualitas, semua tergantung kemahiran penulis. Bila penulis mandiri juga nyambi penulis bayangan, karya yang dihasilkan tetap sama. Sama-sama berkualitas. Punya ruh. Bukan berarti karya penulis bayangan tidak memiliki ruh. Berbicara soal ruh dalam karya tulisan, rata-rata penulis terbiasa menyelami setiap isi dari tulisan-tulisan. Penulis hebat mampu memasuki ruang-ruang terdalam dari tokoh utama yang ditulisnya. Bahkan, jika memungkinkan, penulis bisa membelokkan tokoh utamanya dari baik menjadi buruk. Ini juga berlaku pada penulis bayangan. 

Hanya satu yang membedakan penulis bayangan dan penulis mandiri. Yakni: kebanggaan. 

Hal itu diakui Nuri. 

"Jadi penulis bayangan memang tidak ada kebanggaan. Berbeda ketika kita menulis sendiri. Penulis bayangan hanya dilihat dari sisi finansialnya saja. Ada penulis bayangan profesional dengan bujet tinggi, tentu karya yang dihasilkan sangat apik. Tetapi kembali lagi, menulis adalah passion. Sebuah karya tidak bisa dihargai oleh uang. Karya penulis bayangan tetap ditulis sebagai portofolio. Hanya saja bukan sebuah kebanggaan. Karena memang nama kita tidak tercantum di sana."

Saya pernah menjadi penulis bayangan seperti Nuri. Cuma sekali. Tidak ada kebanggaan. Hasil karya kita diklaim oleh si pemesan. Ada perang batin di situ sebagaimana yang dicurahkan Nuri dan mungkin penulis-penulis bayangan lain. Begitulah resikonya. Mereka dibayar untuk tulisannya, namun tidak mendapat kredit atau tulisan yang dihasilkan. 

Bukankah penulis bayangan dibayar mahal untuk mengesampingkan ego?

Pemred saya pernah berkata, kebanggaan jurnalis bukan dari  besarnya imbalan yang diterima. Kebanggaan jurnalis adalah ketika karya jurnalistiknya dimuat dan dibaca orang. Sama halnya dengan penulis buku. Kebanggaan penulis, ya ketika karyanya dicetak/diterbitkan dan dibaca banyak orang. 

Dan semua kembali pada masing-masing orang. Mau jadi penulis mandiri silahkan, jadi penulis bayangan silahkan. Toh, keduanya sama-sama berkarya untuk kemajuan sastra di Indonesia. Yang jelas keberadaan penulis bayangan masih sangat dibutuhkan di luar sana.

Wartawan RMOLJatim