Banalitas Aparat

Situasi stadion Kanjuruhan sesaat polisi menembakkan gas air mata ke Stadion Kanjuruhan/Net
Situasi stadion Kanjuruhan sesaat polisi menembakkan gas air mata ke Stadion Kanjuruhan/Net

TRAGEDI KM50, tragedi Bharada J, lalu tragedi Kanjuruhan, ketiganya menyingkap satu hal. Banalitas kekerasan aparat. Kekerasan sudah dianggap lumrah, biasa serta wajar. Kelumrahan menumpulkan nurani. Kewajaran meruntuhkan welas asih. Kebiasaan tiada henti. Menutup mata hati, tanpa penyesalan diri.

Aparat pelaku kekerasan sudah tak lagi berpikir bagaimana jika dirinya yang menjadi korban. Ketika beraksi, yang ada dalam batok kepala aparat hanyalah instruksi komando mengamankan, menertibkan bahkan kalau perlu beringas kepada warga tak berdosa. Dikejar, dipukul, diseret, malah kalau perlu diinjak.

Perilaku biadab itu sudah dianggap wajar apalagi diimbuhi alasan sudah sesuai prosedur. Sudah tegas dan terukur. Ketiga alasan pembenar ini berasal dari sistem dari lembaga mereka berasal. Sebuah sistem yang dibangun lembaga melalui penghalalan kekerasan sebagai satu-satunya opsi penyelesaian masalah.

Perlahan namun pasti, sistem itu mengubah cara pikir aparat menuju banalitas. Menganggap kekerasan adalah kewajaran, kekerasan adalah kelumrahan, kekerasan adalah penyelesaian. Tak ada opsi lain, tak perlu pilihan lain. Cukup praktekkan kekerasan kepada warga. Masalah apapun bakal terselesaikan. 

Itulah yang dilihat Hannah Arendt, filsuf perempuan penulis buku 'Eichmann in Jerusalem, A Report on the Banality of Evil'. Buku yang terbit tahun 1963 ini masih relevan untuk melihat bagaimana kekerasan yang dianggap kewajaran telah dipraktekkan aparat negara. Para aparat negara menganggap praktek kekerasan sebagai kelumrahan. Berbuat banal adalah biasa.      

Banalitas berciri pendangkalan nurani, suara hati telah sirna serta glorifikasi aksi kekerasan sebagai kewajiban. Aparat pelaku kekerasan, termasuk menembakkan gas air mata kepada warga tak berdosa, menganggap dirinya sedang memenuhi kewajiban. Tak peduli berapa korban berjatuhan, bagi aparat penembak gas air mata yang penting telah melakukan kewajiban.

Aparat pelaku kekerasan di lapangan merupakan manusia biasa yang berpikir lurus ingin selalu memenuhi kewajiban sesuai perintah dan komando. Karena kelurusannya, mereka kehilangan daya kritis. Tak lagi mempertanyakan kenapa harus menggunakan gas air mata. Tak lagi ragu menganiaya warga korban, karena beralasan hendak membela diri. Membela diri melalui cara mengeroyok warga korban.       

Bernaung di bawah payung demi menegakkan ketertiban umum, kekerasan dihalalkan. Demi penegakan hukum, kekerasan diperbolehkan. Demi keteraturan, kekerasan sudah dibiasakan. Inilah banalitas aparat yang kontras dari slogan beken ''melindungi'', ''mengayomi'' dan ''melayani'' masyarakat. 

Padahal, mana ada perlidungan, pengayoman apalagi pelayanan kepada warga yang justru menjadi korban tatkala aparat banal beraksi di lapangan. Perlindungan membutuhkan kepekaan, sedangkan kepekaan butuh nurani. Dalam banalitas, kepekaan sudah hilang. Tergantikan hasrat memenuhi perintah komando, keinginan naik pangkat dan jabatan.

Lebih memprihatinkan lagi, banalitas aparat justru ditutupi jargon ''presisi'' (prediktif, responsibilitas dan transparansi serta berkeadilan). Buktinya, setelah publik menyorot aksi tembak gas air mata sebagai pemicu tewasnya korban di Kanjuruhan, beberapa jam kemudian beredar surat imbauan aparat bertanggal mundur dari agar panitia penyelenggara (panpel) mengubah jadwal tanding.

Surat resmi permintaan aparat itu kelihatannya sengaja diedarkan guna cuci-tangan. Untuk menunjukkan kepada publik, bahwa aparat telah mengimbau, sedangkan panpel tetap pada jadwal. Maka, panpel yang bertanggungjawab atas kekacauan yang terjadi, bukan tanggungjawab aparat. Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan ada tembakan gas air mata yang kian mengacauakan situasi di lapangan.

Peneliti pada Centre for Statecraft and Citizenship Studies, Universitas Airlangga, Surabaya