Loyalitas Capres

Peneliti pada JPIPNetwork, Rosdiansyah/Ist
Peneliti pada JPIPNetwork, Rosdiansyah/Ist

LOYALITAS bukan perkara sepele, jangan pula disepelekan. Seringkali pangkal ketegangan berujung pertengkaran buntut dari loyalitas yang dipertanyakan. Seorang calon presiden (capres) dan partai politik (parpol) yang mencapreskan, juga butuh loyalitas. Bukan satu arah, tapi loyalitas dua arah. Rasanya kurang elok kalau cuma satu arah.

Jika capres hanya wajib loyal pada parpol yang mengusung atau mencapreskannya. Gampang ditebak, situasi ini menjadikan capres sekadar ''petugas partai''. Ia tak bebas berimprovisasi, tak pula bebas berinteraksi. Garis partai menghalanginya untuk berbuat itu. Semua langkah capres harus sepersetujuan partai. Reputasi capres di mata publik pelan-pelan merosot. Publik yang sudah cerdas bakal melihatnya hanya boneka partai. Pelaksana agenda partai. Capres tergantung apa kata partai. 

Sebaliknya, kalau hanya parpol pengusung yang wajib loyal pada capres, itu juga tak pantas. Parpol jadi kehilangan jati diri. Tak lagi mandiri. Semua tergantung pada capres pribadi. Apalagi, jika capres yang diusung bukan ketua umum partai. Bisa-bisa sang capres dicaci sudah kurang ajar. Situasi kian runyam kalau capres gak mau tahu, soalnya dia cuma tahu kalau parpol butuh dirinya. Bukan cuma dimaki kurang ajar, parpol bisa mencabut pencapresannya. 

Persoalan loyalitas ini sudah menghantui pencapresan di Indonesia sejak reformasi 1998. Ketika Presiden Soeharto mengundurkan diri dan Wakil Presiden BJ Habibie menggantikannya, sontak perdebatan soal loyalitas marak dimana-mana. Habibie bukan Ketua Umum Partai Golkar. Saat Habibie dilantik sebagai presiden pada 21 Mei 1998, Ketua Umum Partai Golkar adalah Harmoko. Tatkala laporan pertanggungjawaban Presiden Habibie ditolak MPR 20 Oktober 1999, Ketua Umum Partai Golkar adalah Akbar Tanjung.

Begitupula saat KH Abdurrahman Wahid dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 1999. Beliau bukan Ketua Umum PKB. Saat itu, PKB dipimpin Matori Abdul Jalil. Barulah pada 23 Juli 2001 terjadi perubahan situasi signifikan, saat Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri menjadi presiden. Ini tradisi baru dalam sejarah politik dan pemerintahan di Indonesia. Sebab, baik Presiden Soekarno maupun Presiden Soeharto, tak pernah menjabat sebagai ketua umum di saat mulai diberlakukan sistem multi partai.  

Presiden Soekarno menjabat sebagai Ketua Umum PNI pada 22 Agustus 1945 sampai 1 September 1945. Itu era presidensial murni dan belum sistem multi partai. Namun, ketika Wakil Presiden Mohammad Hatta menanda-tangani Maklumat 3 November 1945 yang mendorong pembentukan partai-partai politik sebagai bagian dari demokrasi multi partai, Presiden Soekarno sudah bukan Ketua Umum PNI. Digantikan Ki Sarmidi Mangunsarkoro sejak 29 Januari 1946. Sejak saat itu pula, Presiden Soekarno bukan Ketua Umum PNI pada masa multi partai, bahkan sampai beliau menuntaskan kepresidenannya. 

Presiden Soekarno tetap menunjukkan loyalitas pada PNI. Begitupula loyalitas Presiden Soeharto pada Golkar. Idem ditto dengan loyalitas BJ Habibie pada Partai Golkar. Tak kurang pula loyalitas Presiden Abdurrahman Wahid pada PKB. Para presiden ini bukan ketua umum partai saat menjabat kepresidenan, namun tetap loyal pada partai. Ini tradisi yang baik.

Hakikat Loyalitas       

Berbagai kajian menunjukkan, loyalitas bukan hanya terpaku pada hubungan satu orang dengan orang lain atau kelompok, melainkan loyalitas tertuju pada semua hubungan dari orang tersebut. Misalnya, loyalitas seorang capres bisa melebihi dari jumlah koneksi sang capres. Apalagi jika capres tersebut sudah membangun reputasi, integritas dan memudahkannya berkolaborasi dengan siapapun. Berkat hubungan lintas personal semacam itu, tanpa harus menjadi ketua umum atau kader partai misalnya, seorang capres akan mudah mengembangkan kepercayaan pihak lain padanya. Studi James Connor yang termaktub dalam bukunya ''The Sociology of Loyalty'' (2007) menunjukkan hal itu.

Kedekatan emosional secara positif antar pihak menjadi faktor pertama untuk melihat loyalitas. Murid Karl Popper, Joseph Agassi, menulis artikel tentang loyalitas bertajuk ''The Last Refuge of the Scoundrel''. Terbit di jurnal Philosophia pada tahun 1974, menyebut dalam struktur ketatanegaraan patriotisme merupakan bentuk tertinggi kesetiaan atau loyalitas. Seorang patriot selalu menunjukkan ikatan emosional prioritas pada tanah air dimana ia dilahirkan. Sementara spektrum loyalitas bisa mulai dari patriotisme sampai persahabatan. Namun, kaum liberal acap dituding tak punya loyalitas, terbukti kaum liberal paling ogah bersumpah setia. Walaupun Karl Popper sendiri dalam bukunya ''Open Society'' membantahnya. Ia justru menegaskan kaum liberal bisa menjadi jauh lebih patriot dibanding yang lain. Ditegaskannya, tanpa loyalitas, tak ada patriotisme.  

Ketika kedekatan emosional itu hendak diekspresikan, biasanya muncul masalah bahasa. Connor menegaskan, seringkali hal ini timbul karena tiap bahasa punya nuansa budaya. Menyampaikan sikap loyal bisa dimaknai menjilat, bahkan bisa dituding mencari muka. Ini soal budaya. Merujuk pada karya Anna Wierzbicka ‘Everyday conceptions of emotion: A semantic perspective’ (1995), Connor menyatakan betapa sulit ekspresi emosional jika dibatasi nuansa budaya. Sedangkan loyalitas tak bisa dipisahkan dari ekspresi emosional. Maka, ditegaskan Connor, sangatlah bijak merujuk pada asal kata loyalitas itu.

Kata loyalitas berasal dari bahasa Inggris dengan artefak budayanya. Namun, rasa serta perilaku loyal juga ada dalam budaya bangsa lain. Ruth Benedict dalam karyanya 'The Chrysanthemum and the Sword' (1991) menunjukkan kesamaan budaya loyal di Jepang. 

Sejarah bangsa Jepang menunjukkan betapa loyal seseorang kepada keluarga, tempatnya bekerja, komitmen pada masyarakat serta bangsanya. Loyalitas yang dipupuk sejak dini, saat masa kanak-kanak. Ada hak dan kewajiban di dalam loyalitas yang sudah ditanamkan sedari awal pertumbuhan diri seorang warganegara. Situasi ini mirip dengan loyalitas yang telah ditanamkan di suku Gururumba Papua Nugini, bahkan di dalam etnik-etnik lain di seluruh dunia.         

Tatkala kesadaran negara-bangsa mulai meluas di awal abad 20, maka loyalitas pun mengalami pergeseran. Dari bersikap loyal pada suku kepada bersikap loyal pada bangsa. Melalui loyalitas, masyarakat bisa mengontrol capres yang didukungnya. Sebab, tulis Connor, aspek kunci dari loyalitas adalah mencermati, menyimak seksama sekaligus mengarahkan perilaku sosok yang diusung. 

Melalui mekanisme kontrol sosial ini maka para pendukung apalagi pengusung bisa terus mengawasi kwajiban, hak, pertanggungjawaban serta timbal-balik seorang capres. Sebagaimana Morton Grodzins dalam bukunya ''The Loyal and the Disloyal: Social Boundaries of Patriotism and Treason'' (1956), menegaskan loyalitas menopang dan ditopang oleh hak serta kewajiban bersama, kepercayaan bersama, sekaligus kewajiban timbal balik. Semua itu unsur penting kehidupan sosial.  

Timbal-Balik

Pertanyaan publik saat ini terhadap Anies Baswedan diantaranya berkaitan pada soal loyalitas. Ketika ia sudah dicapreskan oleh Partai Nasdem dan kelak ada partai-partai lain yang juga ikut mengusungnya, terbit pula pertanyaan arah loyalitas Anies sekaligus bagaimana sifat loyalitasnya, mono-loyalitas atau loyalitas timbal-balik. Pertanyaan ini sesungguhnya bisa dijawab melalui beberapa fakta berikut ini.

Pertama, sejarah Pemilihan Gubernur (Pilgub) DKI 2017 menunjukkan Anies bukanlah kader Partai Gerindra atau PKS. Ia dipasangkan dengan Sandiaga Uno yang berasal dari Partai Gerindra. Begitu terpilih, Anies telah menunjukkan loyalitasnya pada warga Jakarta selama memimpin Jakarta. Partai politik yang memberi tiket Anies-Sandi, tapi yang memilih paslon ini adalah warga Jakarta. Sembari tetap menjaga hubungan baik dengan parpol pengusung, Anies menunjukkan loyalitas timbal-balik kepada masyarakat Jakarta. Hak dan kewajiban terpenuhi dalam soal ini. 

Kedua, selama memimpin Jakarta, Anies berkomunikasi lintas etnis, lintas agama. Ia memakai bahasa yang gampang dipahami, mudah dimengerti lawan bicara. Ketika pertama kali menetapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pada 2020, bahasa yang digunakannya bersifat mengajak warga agar patuh pada aturan menghadapi pandemi. Jika bahasa merupakan ekspresi loyalitas, maka dari bahasa yang digunakannya itu terlihat loyalitasnya pada masyarakat. Bukan terbatas pada komunitas yang mengusung atau memilihnya.

Ketiga, jika loyalitas itu juga mengandung hak serta kewajiban bersama, maka itu juga ditunjukkannya ketika menggulirkan berbagai program. Diantaranya, program pelebaran jalan trotoar di beberapa lokasi di Jakarta. Trotoar yang lebar adalah hak warga untuk bisa bebas serta nyaman berjalan, sedangkan kewajiban warga adalah menjaga trotoar itu tetap bersih serta asri. 

Ala kulli hal, sebenarnya masih banyak fakta lain yang bisa diungkap guna menunjukkan bagaimana loyalitas timbal-balik berlangsung antara figur yang diusung dengan masyarakat yang memilih. Partai politik memang punya peran signifikan dalam proses demokrasi. Namun, ujian loyalitas capres justru pada keterlibatannya untuk masyarakat.

Peneliti JPIPNetwork