Buntut Hakim Itong Ditangkap KPK, Sengketa Tanah di Surabaya Dilaporkan ke Bareskrim Polri

Ilustrasi sengketa tanah/Net
Ilustrasi sengketa tanah/Net

Penangkapan Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya Itong Isnaeni oleh KPK hingga ditetapkan tersangka berbuntut panjang. Sengketa lahan Yayasan Cahaya Harapan Hidup Sejahtera (CHHS) di Jalan Puncak Permai, Kelurahan Lontar, Kecamatan Sambikerep kembali bergulir. Kali ini bukan di ranah pengadilan, melainkan kepolisian.


Kasus ini dilaporkan ke Bareskrim Mabes Polri, dengan nomor surat: LP No LB/B/0146/III/2022/SPKT/BareskrimPolri tertanggal 25 Maret 2022.

Terlapor Mulya Hadi dkk, karena diduga sejak 2016 menggunakan keterangan dan dokumen palsu guna mengakali jalannya persidangan gugatan tanah. Akhir tahun 2022 ini penyelidikan ini sudah mulai menunjukkan titik terang.

“Ditemukan adanya peristiwa dugaan tindak pidana,” demikian isi pemberitahuan pihak Bareskrim Polri kepada kuasa hukum pelapor Dr Ir Albert Kuhon MS, SH yang mengadukan kasus itu, “Sehinggga dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan."

Saat konferensi pers di Surabaya Albert Kuhon memuji semangat dan kerja keras Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dalam membongkar kasus mafia tanah. “Jika diniati secara serius dan diusut secara tekun, pasti gerombolan mafia tanah  bisa dibongkar sampai ke akar-akarnya,” tegas dia.

“Pengaduannya mengenai penggunaan keterangan palsu dan dokumen yang dipalsukan. Yang mengakibatkan pihak yang diduga mafia tanah memenangkan sejumlah perkara di persidangan,” kata Kuhon kembali.

Kuhon menuturkan, sebetulnya kasus itu sudah lama diadukan, tetapi tersendat. Kejadiannya berlangsung sejak tahun 2016 dan antara lain melibatkan pengacara, pemodal, pejabat di lingkungan pemerintah daerah, oknum Kantor Pertanahan, hakim dan panitera.

Kasus tersebut jelas Kuhon melibatkan beberapa bidang tanah yang dijual oleh PT Darmo Permai (developer perumahan pertama di Indonesia) kepada konsumennya. Sekitar awal Agustus 1981 pengembang itu membebaskan 90,3 hektar lahan di Surabaya Barat dan mengurus sertifikatnya atas nama PT Darmo Permai dengan objek berupa lahan seluas 903.640 meter persegi.

Hamparan lahan yang dibebaskan PT Darmo Permai tersebut, berada di beberapa kelurahan (sebagian termasuk di Kelurahan Lontar dan Kelurahan Pradahkalikendal), disatukan dalam sertfikat induk yang diterbitkan Kantor Pertanahan Kota Surabaya I atas nama PT Darmo Permai. Seluruhnya dituangkan dalam sertifikat induk Sertifikat Hak Guna Bangunan no.79/Pradahkalikendal.

“Karena kebetulan sebagian lahan terletak dalam wilayah Kelurahan Pradahkalikendal. Klien saya pertengahan tahun 1995 membeli lahan dari PT Darmo Permai,” Kuhon kembali menegaskan.

Sebagai pembeli yang beritikad baik, klien tersebut mendapatkan Sertifikat Hak Guna Bangunan yang merupakan pecahan dari sertifikat induk SHGB No.79/Pradahkalikendal yang semula atas nama PT Darmo Permai.

”Wajarlah jika pada sertifikat pecahan itu masih dicantumkan lokasi ‘Pradahkalikendal’ sebagaimana dikutip dari sertifikat induknya yakni SHGB No.79/Pradahkalikendal,” tegas Kuhon.

Pecahan SHGB tersebut diperpanjang pada tahun 2002 dan berganti buku menjadi SHGB yang berlaku sampai tahun 2022, namun tetap menyebutkan seolah-olah lokasinya di ‘Pradahkalikendal’ sebagaimana yang disebutkan pada induk sertifikat. Pada perpanjangan kedua di awal tahun 2022, nama ‘Pradahkalikendal’ pada pecahan SHGB itu diubah oleh menjadi ‘Lontar’ (kata Pradahkalikendal dicoret dan diganti dengan Lontar).

Kuhon menuturkan, ada kelompok yang diduga mafia tanah yang memanfaatkan pencantuman ‘Pradahkalikendal’ pada pecahan SHGB. Lalu sindikat mafia tanah itu memproses dokumen dan keterangan palsu, kemudian mengajukan gugatan di pengadilan.

Pihak mafia tanah itu mempermasalahkan lokasi lahan milik klien Kuhon, yang menurut mereka semestinya di Kelurahan Pradahkalikendal sebagaimana disebutkan dalam pecahan SHGB.

“Padahal, penyebutan ‘Pradahkalikendal’ hanya diambil dari sertifikat induk, dan lokasi yang betul adalah di Kelurahan Lontar. Itu sebabnya Kantor Pertanahan kemudian memperbaiki lokasi yang disebutkan di pecahan SHGB,” kata Kuhon.

Celakanya papar dia dalam perkara gugatan hukum di Pengadilan Negeri Surabaya, majelis hakim yang diisi oleh Hakim Itong hanya memeriksa dokumen dan tidak menelusuri keabsahan dokumen maupun keterangan yang diajukan oleh pihak yang diduga mafia tanah selaku penggugat.

 “Entah bagaimana proses peradilannya, yang jelas pihak yang diduga  mafia tanah itu tahun 2021 memenangkan kasus perdatanya di Pengadilan Negeri Surabaya,” ujar Kuhon.

 “Putusan PN Surabaya itu, sudah mengakibatkan pihak yayasan kehilangan haknya dan harus membayar ganti rugi sebesar Rp 1 miliar kepada pihak yang diduga sebagai kelompok mafia tanah,” imbuh Kuhon.

Terpisah Johanes Dipa kuasa hukum terlapor Hadi Mulya, ketika dikonfirmasi mengaku tahu jika perkara ini kembali dilaporkan ke kepolisian di Bareskrim, Mabes Polri oleh tim kuasa hukum pelapor atas nama Widowati Hartono. "Ada apa? Perkara ini sudah pernah dilaporkan ke Polrestabes Surabaya dan keluar SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan)," tegasnya.

Menurut dia bagaimana mungkin pelapor yang sama, terlapor yang sama, serta peristiwa sama dan pasal  sama bisa dilaporkan kembali ke Mabes Polri.

"Seharusnya Mabes Polri tak menerima laporan kedua. Pelapor dan terlapor yang sama, peristiwa yang sama. Tidak boleh," tegas dia.

Disinggung soal tertangkapnya Hakim Itong oleh KPK, Johanes menegaskan tak ada kaitannya. "Kalau gitu semua perkara yang ditangani Hakim Itong dianggap tidak memiliki kekuatan hukum pasti berarti. Kalau logika itu yang dipakai, itu alasan yang dibuat-buat. Bukan cari kebenaran tapi pembenaran," bebernya.

Dia menambahkan jika panik jangan mencari-cari alasan. "PN dan PT sudah kalah. Cari argumentasi hukum yang kuat, bukan alasan. Itu menunjukkan orang panik," pungkas dia.