Perumda Tirta Kanjuruhan Diduga Terapkan Sistem Setor Uang Fee 10 Persen di Setiap Proyek

Kantor Perumda Tirta Kanjuruhan/RMOLJatim
Kantor Perumda Tirta Kanjuruhan/RMOLJatim

Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Kabupaten Malang, yang kini berganti nama menjadi Perusahaan Umum Daerah Tirta Kanjuruhan (Perumda Tirta Kanjuruhan) milik Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang diduga menerapkan sistem setor uang fee (beban biaya) sebesar 10 persen di setiap nilai proyek yang dianggarkan sejak lama. 


Penerapan nila setor uang fee itu telah berjalan sejak tahun 2002, saat itu masih berkantor pusat di Kecamatan Singosari. 

Demikian dikatakan oleh Mahmud, salah satu kontraktor yang merupakan rekanan Perumda Tirta Kanjuruhan sejak tahun 2002 hingga 2021.

"Saya ini menjadi rekanan di PDAM  mulai tahun 2002, pada waktu itu Dirut (Direktur Utama) sebelum Pak Hasan, saat berkantor di Singosari. Kegiatan proyek yang saya kerjakan di bidang pengadaan barang dan jasa, yaitu pipa dan aksesoris untuk sambungan rumah (SR)," ungkap Mahmud, Selasa, (06/12) saat ditemui.

Ia pun menjelaskan, bahwa jenis pekerjaan yang didapatnya adalah berupa Penunjukan Langsung (PL) mulai di tahun 2002 hingga 2021. Bahkan ia menerangkan untuk kisaran jumlah proyek yang diterimanya secara total mencapai kurang lebih Rp 12 miliar hingga Rp 15 miliar. 

"Dari seluruh pekerjaan proyek yang saya dapat sifatnya PL, karena nilainya di bawah Rp 200 juta. Terakhir saya mengerjakan di tahun 2021. Kalau ditotal semua proyek yang saya kerjakan mulai tahun 2002 hingga sekarang, jumlahnya kurang lebih berkisar Rp 12 miliar sampai Rp 15 Miliar. Nah, disetiap pengerjaan saya wajib harus menyerahkan fee sebesar uang 10 persen di setiap satu jenis PL, setelah dipotong pajak (PPN+PPh)," paparnya. 

Kemudian pria tersebut, menjelaskan dengan detail mekanisme penyerahan uang fee sebesar 10 persen terhadap Perumda Tirta Kanjuruhan. 

"Jadi gini, pencairannya itu kan melalui bendahara. Kemudian saya dikasih cek, langsung saya cairkan sendiri ke Bank. Biasanya pakai Bank Jatim atau BTN. Setelah itu saya menyetorkan uang ke PDAM di bagian umum. Langsung saya setorkan ke Kabag (Kepala Bagian) Umum, mulai dari Pak Syamsul Hadi yang saat ini menjabat Dirut, lalu ada yang sudah almarhum (meninggal dunia), Pak Eko, lalu ke Mas Anton yang terakhir," bebernya. 

"Dalam penyetoran uang fee itu, saya tidak boleh melalui transfer. Namun disarankan melalui tunai dan setornya harus memakai amplop. Sebenarnya, untuk penyetoran fee itu saya tidak setuju. Karena itu merupakan aturan dari kantor PDAM, saya terpaksa mengikutinya. Kalau tidak mengikutinya, saya tidak dikasih pekerjaan. Hal itu sifanya wajib. Buktinya saya mencoba menolak di tahun 2021 tidak menyetor fee, hasilnya di tahun 2022 saya tidak mendapatkan proyek sama sekali," tambah pria berkacamata tersebut. 

Ditanya apakah memiliki bukti bahwa dia merupakan rekanan kontraktor di Perumda Tirta Kanjuruhan, Mahmud menyampaikan mempunyai surat perintah kerja (SPK) mulai tahun 2002 hingga 2021.

"Sementara ini ada berupa SPK berjumlahkan Rp 6 miliar, yang lain masih dicari. Insha Allah ada di kantor," tuturnya. 

Bahkan ia mengaku, pernah dipanggil Kejaksaan Tinggi Jawa Timur (Kejati Jatim) namun pada persoalan lain, yakni terkait markup harga pengadaan pipa pada proyek meterisasi Sumber Pitu, pada tahun 2007 hingga 2010 Perumda Tirta Kanjuruhan, Kabupaten Malang. 

"Saya pernah dipanggil Kejati Jatim. Pemanggilannya sekitar tahun 2007 saat proyek itu berjalan. Pada waktu itu Dirutnya masih Pak Hasan, Direktur Umumnya Pak Acik, Direktur Tekniknya Pak Bambang. Kami berangkat satu mobil ke Kantor ke Kejati Jatim untuk memenuhi pemanggilan. Tapi saya kaget mas, awalnya saya dipanggil sebagai saksi. Waktu itu suratnya berwarna merah. Namun saat pemeriksaan, saya sempat akan ditahan, karena keterangan saya dianggap tidak masuk akal," tandasnya. 

"Jadi begini, pada waktu itu harga jual pipa per meter seharusnya senilai Rp 55 ribu. Kemudian saya disuruh Pak Syamsul menaikkan harga menjadi Rp 75 ribu per meter pipa. Dan Pak Syamsul bilang sisahnya untuk saya. Yang menyarankan dia. Bilangnya ke orang-orang harganya Rp 75 ribu. Ternyata di SPK (Surat Perintah Kerja) malah dinaikkan kembali menjadi Rp 99 ribu sudah termasuk pajak. Ketika saya ditanya harga tidak sesuai dipasaran, dengan artian kemahalan. Namun saya menjawab saat pemeriksaan tersebut mahal karena pembayarannya diangsur beberapa kali. Sesuai rapat satu bahasa dengan orang PDAM. Sebenarnya faktanya tidak," Imbuhnya. 

Selanjutnya, ia juga membeberkan, bahwa pada waktu itu mendapat orderan yang dimarkup itu jumlahnya ribuan meter melalui PL. Padahal totalnya mencapai Rp 6,5 miliar. 

"Pengadaan pipanya ribuan meter dan uangnya miliaran mas. Kurang lebih Rp 6,5 miliar. Jenis pekerjaannya PL, karena dipecah-pecah. Proyek itu sekitar tahun 2007 hingga 2010. Kemudian, meski harga sudah dinaikkan, saya juga menyerahkan fee," bebernya. 

Disinggung kenapa kasusnya di Kejati tak ada tindaklanjut, ia menjelas, bahwa waktu itu Direktur Umum menghubungi seseorang kuat di Malang. 

"Saya sempat nguping pembicaraan ketika waktu di mobil, Pak Aji selaku Direktur Umum menelepon seseorang, lalu memberitahu bahwa PDAM kena masalah. Lalu ditanya siapa jaksanya? Trus kasusnya berhenti hingga saat ini. Sebenarnya semua sudah takut," pungkasnya

Sementara itu, hingga berita ini akan dikirim ke redaksi, Direktur Utama Perumda Tirta Kanjuruhan, Syamsul Hadi saat konfirmasi melalui telepon selulernya. Hanya terdengar nada sambung. Kemudian dikirim pesan singkat melalui WhatsApp tidak membalas.