Iptu Umbaran

Iptu Umbaran Wibowo, Kapolsek Kradenan yang pernah menjadi wartawan/Ist
Iptu Umbaran Wibowo, Kapolsek Kradenan yang pernah menjadi wartawan/Ist

BANYAK kalangan pers menilai penyusupan Iptu Umbaran Wibowo menjadi wartawan atau kontributor televisi, merupakan praktik kotor yang dilakukan institusi Polri. 

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) bahkan menilai penyusupan anggota Polri ke dalam institusi pers menyalahi aturan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Pers. Tepatnya di Pasal 6 Undang-Undang Pers. 

Dengan memata-matai pers, Polri dianggap telah menempuh cara-cara kotor dan tidak memperhatikan kepentingan umum dan mengabaikan hak masyarakat untuk mengetahui dan mendapatkan informasi yang tepat, akurat dan benar. 

Dalam kasus ini, AJI menganggap Iptu Umbaran dan Polri jelas telah menyalahgunakan profesi wartawan untuk mengambil keuntungan atas informasi yang diperoleh saat bertugas menjadi wartawan.

Pandangan berbeda disampaikan Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso. Menurutnya penempatan mata-mata di dunia intelijen sudah biasa. Tidak peduli dia ditempatkan dimana. Artinya, Polri dalam hal ini telah berhasil menempatkan anggotanya masuk ke dalam ruang publik untuk menjalani tugas-tugas ke-intelijen-an. 

Sugeng yang semalam mengenakan peci khas warna hitam menyebut, keberadaan Iptu Umbaran selama bertahun-tahun di wilayah pers, menunjukkan betapa akuratnya peran intelijen di kepolisian dalam menempatkan agen-agennya untuk undercover. Sampai-sampai pers tidak tahu dan merasa kecolongan dengan keberadaan Iptu Umbaran yang kini dilantik menjadi Kapolsek Kradenan, Blora, Jawa Tengah pada Senin, 12 Desember 2022. 

Sugeng membeberkan, peran Iptu Umbaran jangan dilihat dari sebelah mata saja. Sebab yang namanya intelijen memang dididik untuk memahami diri sendiri dan diri lawan demi menjaga stabilitas nasional. 

Iptu Umbaran menjadi anggota pers, bisa jadi di tempat barunya itu dia menggunakannya sebagai jembatan agar dapat bergerak bebas melakukan penyelidikan, pengamanan dan penggalangan. Bukan semata-mata untuk menjatuhkan marwah pers. 

Secara bahasa, kata intelijen berasal dari bahasa Inggris inteligence yang berarti kecerdasan. Maka, seorang mata-mata yang ditugaskan untuk menyamar bukanlah sembarang orang, melainkan orang-orang pilihan.

Dia memiliki tingkat kecerdasan yang tinggi, berpikir yang tajam, cerdas, cerdik, dan berakal.

Tugas intelijen, kata Sugeng, harus terorganisir. Tidak peduli wilayah mana yang dimasukinya. Mereka bisa masuk ke dalam jaringan narkoba, jaringan terorisme, ataupun jaringan kejahatan-kejahatan terorganisir lain. 

Tidak hanya memantau, mereka harus masuk menjadi bagian dari jaringan kejahatan.

Di Indonesia zaman Soeharto, Ali Moertopo menguasai jagat intelijen (intelligence millieu). Ia tak perlu mengenakan baju resmi untuk menebar operasi senyap. Semua komponen masyarakat disasarnya. 

Posisinya sebelum jadi menteri penerangan adalah menjadi wakil kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara (BAKIN), tapi Opsus atau operasi khusus yang dipimpinnya luar biasa.

Di akhir era 1950-an atau sebelum ada Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Ali Moertopo sudah jadi perwira intelijen di Jawa Tengah. Di sana dia menjabat komandan kompi Banteng Raider. Ketika Soeharto terlibat Operasi Mandala Trikora pembebasan Irian Barat, Ali Moertopo juga ikut serta. 

Ali Moertopo dianggap sebagai orang kepercayaan Soeharto karena—setidaknya menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia (2007: 42)—“reputasinya sebagai perwira yang mampu memecahkan masalah secara efisien.“ 

“Selama konfrontasi (dengan Malaysia), ia tetap bertanggungjawab kepada Soeharto dan mengepalai unit Operasi Khusus (Opsus), yang bertugas melawan pihak persemakmuran dan, dengan segala kelenturannya, juga berperan penting dalam memimpin negosiasi yang berhasil dalam mengakhiri konflik,” tulis Ken Conboy (hlm. 42-43).

Seorang intelijen, urai Sugeng, biasanya lebih mementingkan urusan negara ketimbang urusan pribadi. Bahkan, mereka rela menyerahkan nyawa sekalipun. 

Ya, tidak mudah bagi seorang mata-mata masuk ke dunia baru yang belum pernah dia jalani. Dia harus mengenali lapangan, beradaptasi dengan pengalaman baru, dan membuat pengetahuan baru.

Wartawan Kantor Berita RMOLJatim