Ingatkan Tragedi '98, Prof. Hermawan Sulistyo Heran: Penculiknya Jadi Jendral, Komandannya Malah Jadi Menteri

Prof. Hermawan Sulistyo (kanan)/ RMOLJatim
Prof. Hermawan Sulistyo (kanan)/ RMOLJatim

"Penculiknya jadi jendral, yang komandan malah jadi menteri. Tragedinya dilupakan. Kalau ditanya bagaimana perkembangan dari pemerintah? Ya, jawabannya sampai bertemu di surga kelak," kata Peneliti senior Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof. Hermawan Sulistyo, saat jumpa pers dalam acara Refleksi Indonesia Merdeka di Surabaya yang bertajuk '98 Wujud Nyata Masa Kelam', Kamis, (31/8).


Prof. Hermawan Sulistyo menyinggung peristiwa tragedi 1998 yang menyebabkan sejumlah aktivis hilang sampai saat ini. Namun, oleh pemerintah terkesan tragedi itu terkesan dilupakan, bahkan pesan reformasi soalah tidak berjalan.

"Di senayan sekarang ada 500 anggota DPR masih sama orangnya. Yang ganti hanya Soeharto. Ini namanya bukan reformasi tetapi hanya suksesi," sambungnya.

Bahkan, pelaku penculikan justru pensiun di kemenhan dengan pangkat jendral.  

"Ini artinya kan melupakan dan memaafkan. Harusnya tidak boleh dilupakan. Kalaupun mau memaafkan, ya terbatas saja," sambungnya.

Menurutnya, tragedi 1998 yang menjadi sisi kelam sejarah Indonesia menyebabkan banyaknya korban jiwa dalam proses reformasi termasuk aktivis yang hilang sampai saat ini, diantaranya Petrus Bima Anugrah dan Herman Hendrawan.

Setelah tragedi kelam tersebut, Prof Hermawan atau akrab disapa Mas Kiki bergabung dalam Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan menginterogasi beberapa jenderal termasuk Prabowo Subianto.

“Kami interogasi Prabowo dan dari 15 jenderal yang kami interogasi hanya Prabowo yang berani marah gebrak meja,” ucapnya.

Sebagai ketua tim TGPF waktu itu, Hermawan mengaku mempunyai kewenangan memasukkan yang terlibat tragedi 1998 ke penjara. Tapi dirinya memilih merekonstruksi bangsa daripada balas dendam dengan menggunakan empat kuadran sebagai penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

“Dimaafkan tapi tidak dilupakan, dimaafkan dan dilupakan, tidak dimaafkan dan tidak dilupakan dan tidak dimaafkan tapi tidak dilupakan. Selesainya apa? Semua penjahat HAM setelah mengaku atau diadili dimaafkan dengan syarat mereka tidak boleh ikut pemerintahan baru dan itu sukses di Afrika Selatan. Di kita bukan hanya dimaafkan di masa lalu malah nyapres, didukung pula, silahkan tafsirkan sendiri,” terangnya.

Saat ditanya isu pelanggaran HAM ini selalu muncul menjelang tahun politik. Dirinya mengingatkan masyarakat menggunakan hak pilihnya agar memilih pemimpin yang lebih baik pada tahun 2024 dan menyelesaikan persoalan masa lampau.