Kosongkan Tanah Warga Demi Pembangunan Negara Kesatuan Rombongan Investor

Moh Hasan/ ist
Moh Hasan/ ist

TERLIHAT matahari belum selesai memanjat ke tempat tertingginya. Pada waktu ini udara harusnya masih murni, sejuk membasuh paru-paru setiap orang penduduk di Kampung Tua. 

Tapi pagi nahas hari itu, udara terasa membekap menyesaki jalan nafas orang-orang yang bergeming membela diri pertahankan tanah kelahiran.

Jam belajar sekolah dasar terpaksa bubar lebih cepat dari jadwal biasanya. Puluhan bocah pelajar lekas saja dievakuasi. Dari arah luar terdengar beberapa kali letusan. Sesaat setalah itu menyusul bunyi tabung kaleng membentur bumi, sedetik itu pula menyembul asap mengepul berbaur di udara bebas. Kini udara tak lagi bersahabat untuk bernafas.

Wajah lugu bocah-bocah yang tengah mengikuti jam pelajaran sekolah, belum menyadari bila ada ancaman bahaya tengah mengintai. Guru-guru bergegas, dengan sedikit daya yang dipunya, para pengajar berusaha sedemikian rupa membawa muridnya melipir menghindari kejaran sang pembawa petaka.

Sekejap itu juga, puluhan bocah berhamburan keluar berebut meninggalkan kelas. Perlahan kepanikan mulai menerkam siapa pun yang ada di gedung tempat para bocah dari Kampung Tua mengais ilmu.

Pasukan mulai dikerahkan. Tangan kanan bersenjatakan pentungan. Uratnya melingkari lengan menandakan ia prajurit yang kuat. Di tangan kiri, tameng baja tampak kokoh membentengi. Menyiapkan diri sembari menunggu perintah. Tak ada kata urung menghajar bila perintah datang. Tenaga akan digandakan.  Siap mendorong balik lawan sampai terjengkang.

Beberapa hari warga Rempang bersikeras mempertahankan nasib tanah kelahiran. Suasana kian tak kondusif. Mungkin saja peristiwa ini bukan pemandangan yang menyenangkan bagi rombongan investor.

Keributan akhirnya sampai ke telinga pimpinan tinggi para pasukan. Melihat ulah warga yang tak ramah investor,  petinggi tersulut emosi. Lantas angkat bicara. Bukan hanya suaranya saja tegas, melainkan sikap badannya penuh wibawa. Sewajarnya ia seorang ketua. Dari mimbar kehormatannya, tanpa canggung sang ketua melempar sesumbar, siap adu otot melawan warga. 

Hati para petinggi gelisah bukan sebab nasib warga Kampung Tua akan ditimpa derita, melainkan khawatir investor gagal tanam harta di negeri yang katanya sudah merdeka lebih setengah abad.

Di mata petinggi pada sebuah negara dengan nasib kekayaan tidak sedang baik-baik saja. Sewajarnya kehadiran investor di Kampung Tua lebih berharga daripada membela warga apalagi hanyalah kaum sudra.

Dahulu, empat tahun silam, tepatnya 7 April 2019--pernah ada yang berjanji tanah Rempang akan disertifikatkan dan hanya membutuhkan waktu paling 3 bulan saja. Tapi rupanya nasib berkata lain, janji dan realita bagaikan jauh panggang dari api.

Kala itu orang-orang Kampung Tua percaya ucapannya. Masyarakat terlanjur terbuai janji manis. Demi sebuah mimpi yang dipercaya bakal menjadi nyata. Mereka turut memenangkannya hingga mengantarkan duduk di kursi kekuasaan.

Sekarang, orang-orang Rempang bahkan mengutuk diri pun tiada guna. Tanah yang ditempati bukannya akan disuratkan, malah kini mereka terancam dipaksa minggat, angkat kaki dari tanah yang sudah mereka tinggali secara turun temurun beratus tahun lamanya. Kata ibarat yang tepat menggambarkan nasib warga Rembang sekarang ini, seperti "air susu dibalas dengan air tuba."

Penulis merupakan wartawan RMOLJatim