Mengadili Israel, Mungkinkah?

Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu/Net
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu/Net

DI TENGAH kecaman dunia internasional kepada Israel atas serangannya ke Gaza yang sudah merenggut lebih dari 22 ribu korban jiwa, Afrika Selatan menempuh langkah berani dengan menggugat Israel ke Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ). Gugatan ini didasarkan pada pelanggaran Israel terhadap Konvensi Genosida 1948.

Sejumlah negara tercatat mendukung langkah Afrika Selatan ini di antaranya Turki, Malaysia, serta Organisasi Konferensi Islam (OKI).

Indonesia sejauh ini tidak mendukung, tetapi menempuh jalur lain dikarenakan bukan negara pihak (state party) yang meratifikasi Konvensi Genosida 1948. Indonesia lebih memilih mekanisme multilateral seperti Majelis Umum PBB untuk menyuarakan aspirasinya.

Pertanyaannya kemudian, apakah mungkin mengadili Israel di Mahkamah Internasional?

Pasca dibawa kasusnya ke ICJ, Israel bersikukuh akan melawan. Perlawanan Israel didukung Amerika Selatan (AS) sebagai sekutu terdekatnya. Dukungan politis kemungkinan besar akan datang dari negara-negara Barat yang sejak serangan ke Gaza Oktober 2023 lalu.

Politik Hukum

Walaupun langkah Afrika Selatan dianggap sebuah terobosan untuk menghentikan kekerasan berlanjut di Gaza, tetapi skeptisisme terhadap efektivitas ICJ cukup dominan. Pasalnya, lembaga ini tak punya kekuasaan untuk memaksakan keputusannya pada negara, sekalipun memiliki otoritas.

Sebagai contoh, pada Juni 2023 Belanda dan Kanada menggugat Suriah ke ICJ atas pelanggaran terhadap Konvensi Anti Penyiksaan. Hasilnya, ICJ hanya memerintahkan pemerintah Suriah menghentikan penyiksaan.

Ukraina juga pernah mengajukan gugatan ke ICJ atas invasi Rusia tahun 2022. Alih-alih tunduk, Rusia enggan menghadiri sidang dan menganggap ICJ tidak punya yurisdiksi atas kasus yang diajukan. ICJ memberi keputusan memerintahkan Rusia menghentikan invasi.

Baik Suriah maupun Rusia yang diadili di ICJ, tak satupun keputusan Mahkamah Internasional itu yang dipatuhi. Kita menyaksikan konflik dan kekerasan di Suriah masih terus berlanjut bahkan hingga hari ini. Begitupun dengan Rusia yang sampai detik ini terus membombardir Ukraina.

Kenyataan ini menjadi bukti bahwa pengadilan internasional dengan subjek hukum negara sangat bernuansa politis. Kajian-kajian akademik hampir semua sepakat bahwa ICJ lemah karena tidak punya kemampuan mempengaruhi kebijakan negara (Llamzon, 2007).

Penegakan hukum di kancah politik internasional merupakan hal yang sangat pelik. Aturan main (organizing principle) yang berlaku antara politik internasional dan politik domestik itu sangat kontras. Politik internasional bersifat anarki di mana negara-negara punya kedudukan relatif sejajar sehingga tidak ada otoritas di atas negara yang mampu memaksakan keputusannya kepada negara (Waltz, 1979).

Dengan kata lain, negara merupakan aktor kunci penentu jalannya politik internasional. Sementara itu, politik domestik dicirikan oleh struktur yang hierarkis di mana kedudukan pemerintah lebih superior dibanding warga masyarakat sehingga pelanggaran oleh individu akan dikenai aturan hukum dan dikenai sanksi mengikat.

Implikasi dari pandangan ini adalah dalam politik internasional hukum yang berlaku adalah “Yang kuat bisa melakukan apapun yang ia mau, sementara yang lemah akan menjadi bulan-bulanan negara yang kuat” (the strong do what they can, the weak suffer what they must).

Mengingat Israel adalah negara terkuat di kawasan, bahkan salah satu dari 10 negara terkuat di bumi, maka sudah pasti tak ada satupun otoritas internasional yang dapat mempengaruhinya. Ditambah lagi dengan adanya dukungan dari AS yang merupakan negara terkuat nomor satu di dunia, gugatan ke ICJ hanya akan terdengar konyol.

Pendekatan Politis

Dikarenakan pendekatan legal melalui ICJ jelas tidak mungkin, maka komunitas internasional perlu menempuh cara lain. Strategi diplomasi koersif seperti sanksi ekonomi dalam bentuk embargo dan boikot punya peluang mengubah kebijakan luar negeri Israel.

Masalahnya, mitra ekonomi terbesar Israel adalah AS, Cina, dan Eropa. AS dan Eropa jelas berada di pihak Israel. Sementara Cina memilih bersikap pragmatis karena punya kepentingan ekonomi. Alhasil, peluang menekan Israel lewat jalur ini sangat kecil.

Di samping itu, menekan AS melalui ‘cara klasik’ ini kemungkinan juga tak terlalu berpengaruh. Dahulu ketika terjadi Perang Arab-Israel tahun 1973, negara-negara Arab mengembargo minyak kepada AS karena dukungannya kepada Israel. Embargo itu efektif.

Namun, kini situasinya sungguh jauh berbeda. AS bukan lagi net importir minyak seperti dahulu. Selain itu, negara-negara Arab sudah banyak yang menormalisasi hubungan dengan Israel sehingga opsi sanksi ekonomi ke Israel tidak akan diambil.

Pendekatan institusionalis seperti memanfaatkan forum-forum multilateral terutama Majelis Umum PBB dan Dewan Keamanan PBB punya peluang lebih kecil lagi. Debat di Majelis Umum PBB hanyalah forum bertukar pendapat. Resolusi yang dihasilkan tidak memiliki daya ikat.

Resolusi Majelis Umum PBB 26 Oktober 2023 lalu yang mendesak penghentian kekerasan di Gaza dan didukung 120 negara – termasuk Indonesia – gagal mencapai tujuannya. Justru di hari yang sama resolusi itu dikeluarkan, Israel seperti mengejek PBB dengan melancarkan serangan darat terbesarnya ke Gaza.

Dewan Keamanan PBB pun juga tak bisa diandalkan. Lembaga ini punya reputasi buruk karena terdapat hak veto para anggota tetapnya yang dipandang sebagai batu sandungan terbesar lembaga itu dalam merumuskan keputusan menyangkut isu keamanan internasional.

Pada Desember 2023 lalu misalnya, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang memerintahkan gencatan senjata di Gaza. Meskipun didukung oleh 13 dari 15 anggotanya, resolusi itu diveto AS sementara Inggris memilih abstain.

Mungkin satu-satunya cara yang bisa ditempuh komunitas internasional adalah melobi AS. Israel tanpa AS adalah bukan apa-apa. Kekuatan militer Israel mayoritas disuplai oleh AS. Harian Israel, Haaretz, bahkan menulis bahwa mengingat ketergantungan Israel kepada AS, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu harus mau berkompromi dengan AS (Haaretz, 2023).

Terbukti, Presiden AS Joe Biden menarik kapal induk USS Gerald Ford dari Mediterania untuk menekan Israel agar berkenan untuk tunduk pada AS. Di saat yang hampir bersamaan, Israel menarik mundur sebagian pasukannya dari Gaza.

Hal ini mengindikasikan bahwa posisi tawar AS masih tinggi terhadap Israel. Keputusan Biden untuk menarik kapal induknya barangkali juga dikaitkan dengan momen menjelang pemilihan presiden pada November nanti. Biden diperkirakan akan mencalonkan diri lagi dan oleh karenanya, ia membutuhkan dukungan publik Amerika.

Hasil survei Reuters menunjukkan masyarakat Amerika yang pro-Israel turun menjadi 32 persen, sementara yang mendukung gencatan senjata justru naik menjadi 39 persen (Reuters, 2023).

Dengan peta politik semacam ini, komunitas internasional – terutama Indonesia – perlu terus melakukan pendekatan kepada AS agar mau menekan Israel menghentikan serangannya ke Gaza.

*Penulis adalah dosen Hubungan Internasional di Universitas Pertamina.