Ikhwan Nursyujoko Terdakwa Perkara Koneksitas Tipikor Pembangunan Rumah Prajurit Soal Sprindik Tak Diberi Tanggal

foto/RMOLJatim
foto/RMOLJatim

Usai dua kuasa hukum dari terdakwa Dindin Kamaludin membacakan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur. Kini giliran kuasa hukum dari terdakwa Ikhwan Nursyujoko yakni Lalu Abdi Mansyah, SH., CLI dan Muhammad Naufal Ali Syafi'i, SH MH. CLI.


Kedua terdakwa Dindin Kamaludin dan Ikhwan Nursyujoko terjerat dalam perkara Koneksitas Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pembangunan Rumah Prajurit Setara Tower Lantai 6 Tahun 2018.

Dalam eksepsinya, melalui kuasa hukumnya yang dibacakan secara bergantian, terdakwa Ikhwan Nursyujoko menyoal tidak adanya tanggal pada surat perintah penyidikan alias kosong.

Namun hanya tercantum bulan Juni dan tahun 2023.

"Pada Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Koneksitas Kepala Kejaksaan tinggi Jawa Timur Nomor : PRINT - 845/M.5/PMpd.1/06/2023 yang ditandangani oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur di Surabaya pada tanggal yang tidak dituliskan dalam Sprindik (kosong), hanya tercantum bulan dan tahun yaitu bulan Juni tahun 2023," kata Lalu Abdi Mansyah, SH., CLI dikutip Kantor Berita RMOLJatim saat membacakan eksepsi di fuang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya, Kamis (12/10).

Padahal lanjut Lalu Abdi Mansyah, berdasarkan ketentuan Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi yang berbunyi “Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer”.

"Bahwa selanjtnya dalam penjelasan pasal tersebut Yang dimaksud dengan "mengkoordinasikan" adalah kewenangan Jaksa Agung  sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan," jelasnya.

Selain itu berdasarkan Pasal 32 Undang - undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yang berbunyi :

Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang diantaranya menetapkan serta mengendalikan kebijakan penegakan hukum dan keadilan dalam ruang lingkup tugas dan wewenang kejaksaan.

Lalu mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait berdasarkan undang-undang yang pelaksanaan koordinasinya ditetapkan oleh Presiden.

Kemudian menyampingkan perkara demi kepentingan umum. 

Serta mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata, dan tata usaha negara.

Mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana.

Menyampaikan pertimbangan kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati.

Dan mencegah atau melarang orang-orang tertentu untuk masuk ke dalam atau meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia karena keterlibatannya dalam perkara pidana.

Bahwa dari uraian pasal diatas sudah sangat jelas dan tegas bahwa yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan penyidikan perkara koneksitas kasus tindak pidana Korupsi adalah Jaksa Agung sebagaimana kewenangan  yang tertuang kelas dalam Undang - undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, termasuk yang berwenang dan memiliki kapasitas dalam membuat dan menandatangani sprindik perkara  Tindak Pidana Korupsi Koneksitas adalah Jaksa Agung Republik Indonesia. 

"Bahwa dengan demikian, dikarenakan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Koneksitas Kepala Kejaksaan tinggi Jawa Timur Nomor : PRINT - 845/M.5/PMpd.1/06/2023 yang dibuat dan ditandatangani oleh Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur bertentangan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi, maka akibat hukumnya sprindik tersebut tidak dan haruslah dinyatakan batal demi hukum.

Bahwa oleh karena Sprindik Koneksitas yang dijadikan sebagai dasar untuk melakukan penyidikan atas diri terdakwa Ikhwan Nursyujoko tidak sah, maka akibatnya segala bentuk pemeriksaan dalam berkas perkara terdakwa menjadi tidak sah dan batal demi hukum, oleh karena hal tersebut sudah sepatutnya secara mutatis mutanda surat dakwaan Penuntut Umum haruslah dinyatakan Batal Demi Hukum," pungkasnya.

Seperti diberitakan, kasus ini bermula dari dugaan penyimpangan penggunaan dana yang dikeluarkan oleh PT. SPU, anak perusahaan BUMN PT Surabaya Industrial Estate Rungkut (PT SIER).

Dana tersebut akan digunakan untuk paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 tahun 2018 di Cipinang.

Terdakwa Ikhwan selaku pihak dari PT Neocelindo Inti Beton Cabang Bandung pihak penerima paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018.

Lalu, paket pekerjaan tersebut diserahkan kepada PT SPU untuk dikerjakan.

Mekanismenya, sebagai biaya pekerjaan awal atau relokasi, Ikhwan meminta uang kepada PT SPU.

Totalnya mencapai Rp1,25 miliar.

Nah, setelah uang diberikan ternyata paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018 tidak ada alias fiktif.

Sedangkan, untuk peran tersangka dari Militer, yakni Letkol CZI DK, diduga menerima sebagian uang pembayaran dari Rp1,25 miliar tersebut.

Tak hanya itu, Letkol CZI DK juga berperan mengatasnamakan TNI yang akan mengadakan paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018, kendati paket pekerjaan tersebut tidak ada.

Pihak PT SPU sendiri sebelumnya sudah dilakukan proses persidangan dan sekarang dalam tahap upaya hukum banding atas nama Dwi Fendi Pamungkas yang saat kejadian sebagai Direktur Utama PT SPU dan Agung Budhi Satriyo yang pada saat kejadian selaku Kepala Biro Teknik PT SPU.

Atas perkara ini, Letkol CZI DK dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan Pasal 198 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer yang pada pokoknya menjelaskan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Dalam perkara tindak pidana korupsi proyek perumahan prajurit ini, sebelumnya ada dua orang terdakwa yang telah memperoleh putusan hukum dari majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama.

Mereka adalah Dwi Fendi Pamungkas yang saat kejadian tahun 2018 menjabat Direktur Utama PT SIER Puspa Utama dan Agung Budhi Satriyo selaku Kepala Biro Teknik pada anak perusahaan PT SIER tersebut.

Keduanya sama-sama divonis pidana satu tahun enam bulan penjara di Pengadilan Tipikor Surabaya.