Tentang Prabowo-Gibran: Kaum Zilenial, Ekonomi Pancasila, dan Transisi Demokrasi

Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka/Net
Pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka/Net

TEPAT pada tanggal 25 Oktober 2023 minggu lalu, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto akhirnya mendeklarasikan diri sebagai Bakal Capres RI periode 2024-2029 bersama Gibran Rakabuming Raka, putra pertama Presiden RI Joko Widodo yang didaulat sebagai Bakal Cawapres. 

Deklarasi yang dilaksanakan sangat meriah di Gelora Bung Karno tersebut menjadi satu episode dari drama politik tentang siapa yang akan diusung Koalisi Indonesia Maju (KIM) sebagai pendamping Bacapres Prabowo setelah Partai Golkar memutuskan Gibran sebagai Bacawapres dalam Rapimnas Partai Golkar. Anggota KIM lainnya yaitu PAN mengusung Menteri BUMN Erick Thohir dan PBB mengusung Ketua Umumnya yaitu Yusril Ihza Mahendra.

Penetapan Walikota Surakarta tersebut sebagai Bacawapres dinilai banyak pengamat sebagai reaksi atas ditetapkannya Menko Polhukam Mahfud Md oleh PDI Perjuangan sebagai Bacawapres pendamping Ganjar Pranowo pada malam 18 Oktober 2023.

Duet Ganjar-Mahfud yang mendaftar siang hari tanggal 19 Oktober setelah duet Anies-Muhaimin, dinilai banyak orang sebagai bentuk keteguhan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri terhadap tawaran politik Presiden Jokowi agar menduetkan Ganjar sebagai Bakal Cawapres pendamping Prabowo.

Menurut saya, analisis tersebut tidaklah tepat karena adalah hal yang mustahil bagi PDI Perjuangan sebagai partai terbesar di DPR untuk mengusung Bacawapres untuk Prabowo yang memimpin partai terbesar ketiga, apalagi setelah PDI Perjuangan mendeklarasikan Ganjar secara mendadak sehari sebelum hari raya Idul Fitri tahun ini.

Dengan kata lain, PDI Perjuangan tidaklah mungkin akan menarik keputusan resmi partai setelah diumumkan kepada publik.

Keputusan sang Menteri Pertahanan RI tersebut menerima usulan Golkar untuk berduet dengan Gibran tentu saja disikapi beragam oleh masyarakat. Penulis tidak bermaksud membahas ragam opini tersebut, karena justru lebih tertarik dengan visi dan misi Prabowo-Gibran yang menegaskan prinsip-prinsip Ekonomi Pancasila sebagai salah satu fondasi pembangunan yang akan mereka lakukan.

Kaum Zilenial dan Ekonomi Pancasila

Kaum Zilenial, akronim dari Generasi Z dan Generasi Y (Milenial) adalah kelompok pemilih terbesar pada Pemilu 2024. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat, jumlah Zilenial yang memiliki hak pilih sebesar 56 persen dari total pemilih atau sekitar 66,8 juta orang. Keputusan Prabowo mengajak Gibran sebagai Bacawapres tentu adalah bagian dari upaya menarik suara Zilenial yang sosoknya diwakili oleh Gibran, selain tentu saja kental nuansa meminta dukungan Presiden Jokowi secara langsung dengan mengusung putra pertamanya.

Tetapi, mengusung sosok dari generasi yang dikenal menggemari gimmick politik dan guyonan digital banal dengan sebuah visi politik mendalam bertajuk Ekonomi Pancasila adalah kebijakan Prabowo yang justru visioner.

Bagi yang akrab dengan polemik ilmiah pemikiran ekonomi, kita tentu mengenal Prabowo sebagai tokoh yang konsisten dengan pemikiran ayahandanya Prof. Soemitro Djojohadikoesoemo yang begawan ekonomi dan politisi Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Komitmen Prabowo terhadap Ekonomi Pancasila terbukti dengan ditunjuknya beliau sebagai Ketua Dewan Pembina Induk Koperasi Unit Desa (Inkud) dan akan memberikan pidato arahan dalam Rapat Anggota Tahunan Inkud Tahun Buku pada 3-5 November 2023 di Jakarta.

Pemikiran ekonomi Soemitro sendiri sangat kental dengan nuansa sosialisme demokratis sebagaimana seniornya sesama kampus Universitas Erasmus Rotterdam yaitu Drs. Mohammad Hatta, dengan menambahkan pentingnya semangat berwirausaha ala kapitalis minus usaha memaksimasi utilitas marginal atau kepuasan individu.

Soemitro sebagaimana Bung Hatta, juga ikut mendorong pendirian koperasi terutama di desa-desa agar semangat masyarakat dalam berwirausaha lebih didasari pada pemenuhan kebutuhan bersama.

Semangat koperasi dan Ekonomi Pancasila dalam pemenuhan kebutuhan bersama inilah yang digariskan dalam UUD 1945 sebagai asas kekeluargaan. Tetapi menurut Prof. Jimly Asshiddiqie dalam buku Konstitusi Ekonomi (2010), istilah asas kekeluargaan pada ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 ini hampir dihapus atas desakan beberapa ekonom pro pasar bebas seperti Dr. Sri Mulyani Indrawati dari FEUI dan Dr. Sri Endang Adiningsih FE-UGM karena kental dengan semangat nepotisme yang hendak dihapus dalam rangkaian amandemen keempat UUD 1945 pada tahun 2002.

Ketua Tim Ahli Prof. Mubyarto yang dikenal sebagai pengusung Ekonomi Pancasila akhirnya mengancam mengundurkan diri jika ayat tersebut dihapus dan diganti dengan rancangan yang kemudian menjadi ayat 4 Pasal 33 hasil amandemen. Alhasil, anggota MPR memutuskan kompromi dengan memasukkan usulan para ekonom pro-pasar tersebut dalam amandemen sembari mempertahankan substansi pasal 33 UUD 1945 versi asli.

Jika dihubungkan dengan semangat zaman Reformasi, asas kekeluargaan dalam Ekonomi Pancasila memang bisa disalahartikan sebagai nepotisme yang memang hendak dihapus pasca jatuhnya Rezim Orde Baru. Terminologi kesetiakawanan (solidarity) justru menurut penulis lebih cocok dikedepankan dalam mewujudkan keadilan sosial menurut Ekonomi Pancasila.

Kesetiakawanan lebih berupaya membentuk masyarakat yang demokratis dan egaliter, sementara istilah kekeluargaan lebih mengesankan masyarakat yang mengutamakan nepotisme dan hirarki.

Kaum Zilenial yang dibesarkan di alam demokrasi dan semangat egalitarian, tentu lebih cocok mengedepankan budaya kesetiakawanan dalam menghadapi tantangan masa depan di tengah situasi ekonomi-politik global yang mendekati kondisi kacau (chaos).

Berbeda di masa Orde Baru di mana negara mengendalikan ekonomi secara penuh, generasi Zilenial menghadapi situasi di mana pasar dikuasai segelintir individu tamak sehingga untuk mewujudkan cita-cita keadilan sosial menurut Pancasila seharusnya dilakukan dengan menguatkan rasa setia kawan sesama generasi muda.

Dengan kata lain, momentum majunya Gibran sebagai Bacawapres pendamping Prabowo tidak hanya semata-mata dilihat sebagai kesempatan kaum muda untuk ikut berkuasa mengatur penyelenggaraan negara, tetapi perlu dilihat sebagai kesempatan untuk memperkuat rasa setia kawan kaum muda untuk mewujudkan demokrasi politik, ekonomi dan sosial yang sebenar-benarnya.

Kaum Muda dan Transisi Demokrasi

Suatu hari menjelang Reformasi, mantan Ketua Rektorium ITB Prof. Soedjana Sapiie menyampaikan pidato ilmiahnya tentang tahap-tahap pembangunan. Pak John Sapiie, demikian panggilan akrabnya, mengatakan untuk mencapai suatu tatanan ideal dari kondisi yang kacau (disorder) haruslah melakukan berbagai langkah yang tepat agar terjadi ketertiban (order). Situasi di antara order dan disorder ini disebut dengan tepi keacakan (edge of chaos) menurut seorang fisikawan Norman Harry Packard dari Santa Fe Institute.

Jika diibaratkan dengan bumi, situasi kacau yang tak berpola adalah lautan dengan gelombang ganas. Namun gelombang dan arus laut ini jika dianalisis oleh seorang ahli kelautan akan ditemukan pola tertentu baik didasarkan pada cuaca, musim, pengaruh angin, salinitas hingga gravitasi bumi dan bulan. Gelombang laut yang sedemikian acak akan mengalami transisi saat mendekati pantai, membentuk pola kompleks dan akhirnya mereda ketika menyentuh bibir pantai.

Dengan demikian, situasi ekonomi pada era Reformasi yang penuh ketidakpastian dan keacakan, perlu dihadapi dengan langkah kebijakan berlandaskan Ekonomi Pancasila dengan asas kesetiakawanan. Pemerintah akan selalu memiliki keterbatasan ruang gerak dalam menjadi aktor karena efisiensi dan kelincahan bergerak adalah syarat dapat bertahan di masa depan.

Maka regulasi-regulasi yang perlu dipikirkan adalah bagaimana Pemerintahan Prabowo-Gibran jika nanti memenangkan pemilu akan memperkuat kesetiakawanan para pelaku ekonomi baik di perusahaan negara, swasta maupun koperasi. Untuk menghadapi investasi asing misalnya, sikap setia kawan para pelaku ekonomi akan memperkuat posisi tawar pemain ekonomi lokal dan nasional versus pemain global.

Kebijakan memperkuat kesetiakawanan para pelaku ekonomi alih-alih membebaskan kompetisi antar pelaku begitu saja atas nama pasar bebas, tentu akan menjadi jalan bagi berjalannya transisi demokrasi dari masyarakat berbudaya politik parokial menjadi partisipatif.

Semakin cepat upaya menjalankan transisi demokrasi yang berarti semakin tingginya partisipasi masyarakat dalam bernegara tentu akan semakin menambah akselerasi bangsa ini untuk mewujudkan keadilan sosial dan kemakmuran rakyat yang sebenar-benarnya.

Penulis adalah alumni ITB, yang juga Sekjen Relawan Muda Prabowo-Gibran (RMPG)