Tarik Menarik Status Tersangka M Suryo, KPK: Belum Final

Ilustrasi / net
Ilustrasi / net

Ketua sementara Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK Nawawi Pomolango mengatakan jika Muhammad Suryo belum ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di lingkungan Direktorat Jenderal Perkereta Apian atau DJKA Kementerian Perhubungan atau Kemenhub. 


Nawawi menegaskan, selama belum ada pengumuman secara resmi melalui konferensi pers KPK maka Muhammad Suryo belum ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi di lingkungan Direktorat Jenderal Perkereta Apian atau DJKA Kementerian Perhubungan.

“Sebelum ada pengumuman tersangka di sini (ruang konferensi pers KPK), berarti belum ada,” kata Nawawi, Selasa,(28/11/2023).

Pernyataan Nawawi ini sendiri menepis klaim dari Wakil Ketua KPK Johanis Tanak yang mengatakan KPK telah menetapkan Muhammad Suryo sebagai tersangka dalam perkara dugaan korupsi yang terjadi di lingkungan DJKA Kemenhub.

Sementara itu, Ahli hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menyoroti kehadiran Firli Bahuri dalam putusan gelar perkara penetapan status tersangka Muhammad Suryo dalam perkara dugaan korupsi di lingkungan DJKA Kemenhub. Abdul Fickar menegaskan Firli telah melakukan abuse of power atau penyalahgunaan kekuasaan.

“Ya ( Firli abuse of power),” tegas dia.

Abdul Fickar juga menyebut, Firli tidak mempunyai kesadaran hukum yang tinggi lantaran hadir dalam gelar perkara setelah menyandang status tersangka pemerasan eks Mentan Syahrul Yasin Limpo. 

Padahal, kata dia, Firli yang kini telah diberhentikan sementara sebagai Ketua KPK merupakan penegak hukum dan seharusnya mengerti aturan.

“Itu tanda tidak punya kesadaran hukum yang tinggi. Padahal dia penegak hukum dan mengerti ada aturannya,” pungkas dia.

Kuatnya tindakan Firli Bahuri dalam menyalahgunakan kekuasaan dipenetapan tersangka Muhammad Suryo dikuatkan dengan Undang-Undang No 30 tahun 2014 tentang administrasi pemerintahan tepatnya di Pasal 17 dan pasal 18.

Dalam pasal  17 UU no 30 tahun 2014 disebutkan bahwa badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang. Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi larangan melampaui Wewenang, larangan mencampuradukkan Wewenang, dan/atau larangan bertindak sewenang-wenang. 

Sementara di Pasal 18 disebutkan bahwa Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang, melampaui batas wilayah berlakunya wewenang; dan/atau bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan. 

Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan tanpa dasar Kewenangan dan/atau bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Sementara itu, dalam UU tersebut juga disebutkan adanya sanksi administratif dalam pasal 80 ayat 3 yang menyebut bahwa  pejabat pemerintahan yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 17 dan pasal 42 dikenai sanksi administratif berat.