Minim Gagasan, Perbanyak Baliho

Tony Rosyid/Net
Tony Rosyid/Net

INDONESIA negara besar. Luas daratan 1,91 juta km2. Luas lautan 6.32 juta km2. Jumlah penduduknya 270 juta. Sudah 78 tahun merdeka dengan menyisakan ribuan masalah yang tidak kunjung terselesaikan. Di sektor pendidikan, hanya 6% yang lulusan sarjana. 21% lulusan SLTA. 34% lulusan SMP. Sisanya lulusan SD ke bawah. Ini menunjukkan jumlah SDM kita masih jauh dari negara-negara tetangga. 

Nasib dosen, guru dan tenaga pengajar honorer sangat mengenaskan. Gaji 300 ribu sebulan hanya buat beli beras. Minyak dan lauk tidak terbeli. Belum kebutuhan pokok dan pendidikan anak-anak para dosen dan guru itu.

Lihat sektor korupsi. Indeks angkanya 34. Terus turun. Ini rapor merah. KPK lumpuh setelah UU-nya direvisi. Ketua KPK jadi tersangka pemerasan terhadap pasiennya. Apa hanya ketua KPK saja yang melakukan pemerasan? Pihak kepolisian bisa menelusurinya lebih jauh.

Belum soal hukum. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Rakyat miskin dipaksa selalu harus mengalah ketika berhadapan dengan orang kaya atau pejabat. Semakin kemari, semakin lebih parah lagi. Hukum dipaksa harus melayani kemauan elite yang berkuasa. Apa yang penguasa mau, aturan bisa diubah. Kapan saja. Negara tidak punya kepastian lagi.

Di sektor pertanian, pupuk selalu langka setiap dibutuhkan oleh petani. Masa panen, harga murah. Petani terus merugi. Mafia impor holtikultura merajalela. Merekalah yang memainkan harga semaunya. Pengelola negara ikut terlibat. Petani terus tertekan dan semakin sulit hidupnya.

Sisi moneter, rupiah nggak ada harganya. Murah sekali dibanding uang asing. Pertumbuhan ekonomi nggak lebih dari 5%. Jika mengacu pada standar World Bank, separuh orang Indonesia itu miskin. Penghasilan per harinya kurang dari 3,2 Dolar AS.

Pendapatan per kapita rakyat Indonesia 4.580 Dolar AS. Bandingkan dengan Malaysia, negara tetangga. Pendapatan per kapitanya 12.000 Dolar AS lebih. Singapura 67.000 Dolar AS lebih. jauh lebih tinggi dari Indonesia. Brunei 31.000 Dolar AS lebih.

Indonesia memiliki wiilayah seluas Amerika. 70% lautan. Kekayaan laut berlimpah. Tapi, lalu lalang kapal asing mencuri ikan di laut kita begitu bebas. Transaksi ilegal leluasa dilakukan di wilayah perairan. Kapal patroli jauh dari cukup untuk bisa memantau luasan laut. Anggaran kecil, banyak yang korupsi. Belum lagi para oknum di laut yang jumlahnya tak terhitung. Laut menjadi dunia gelap bagi para mafia. Mulai dari narkoba hingga BBM ilegal.

Kekayaan alam berlimpah. Indonesia kaya akan emas, nikel, batubara, uranium, gas, dll sangat berlimpah. Sayangnya, bukan untuk kemakmuran rakyat. Tapi buat kesejahteraan pengusaha dan pejabat. Ini clear.

Disparitas antara yang kaya dengan yang miskin begitu lebar. 1% orang Indonesia menguasai kekayaan 50% di negeri ini. 10% menguasai 77%. Dan 90% rakyat berebut sisanya yang 23%.

Lalu, apakah semua ini akan selesai dengan baliho? Apakah semua ini bisa diperbaiki dengan mamasang baliho sebanyak-banyaknya. Tidak! Baliho tidak punya arti apa-apa buat bangsa ini. Kecuali hanya mengotori jalanan. Baliho tak ubahnya seperti tipu-tipu rakyat seolah mereka yang diinginkan.

Kita butuh pemimpin yang tahu semua persoalan bangsa, lalu punya gagasan bagaimana menyelesaikan persoalan-persoalan itu.

Pilpres 2024, ada tiga paslon. Pertama, kita perlu tahu sejauhmana mereka memahami persoalan bangsa ini. Kedua, apa gagasan yang mereka tawarkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan tersebut. Harus diadu satu sama lain. Harus diuji oleh para ahli di bidangnya. Sejauhmana gagasan-gagasan itu bisa dipertahankan. Sejauhmana gagasan-gagasan itu logis untuk bisa direalisasikan. Butuh argumentasi by data.

Ketiga, lihat rekam jejak paslon yang menawarkan gagasan. Ini penting. Setiap gagasan harus di-cross check melalui rekam jejaknya. Pernah nggak paslon itu melakukannya dan sukses. Adakah prestasi yang pernah ia peroleh terkait dengan gagasan itu. Kalau tidak? Itu bualan belaka. Janji kosong. Tidak layak untuk dipercaya.

Pilpres 2014 dan 2019 kita sudah punya pengalaman menerima banyak suguhan bualan dari para capres. Cukup. Harus bilang: cukup. Ini harus menjadikan pengalaman penting untuk memilih di Pilpres 2024. Tidak boleh lagi ada bualan. Semua gagasan harus di-cross check dengan prestasi dan rekam jejak paslon. Tidak sekedar janji-janji.

Paslon yang hanya mengandalkan baliho, sunyi dari gagasan, ini telah menjadi fakta yang sangat memalukan dan menyedihkan. Membuat dada rakyat sesak. Tidak layak untuk menjadi pemimpin. Jauh dari standar. Begitu juga paslon yang suka membual. Menawarkan gagasan yang ia sendiri pernah gagal menjalankannya.

Perlu rakyat yang cerdas dalam memilih. Jangan sampai baliho mengalahkan gagasan. Jangan juga jogetan mengalahkan kecerdasan. Ini akan sangat fatal akibatnya buat masa depan bangsa.

Penulis adalah Pengamat Politik dan Pemerhati Bangsa