Negara, Pemilu dan Kapitalisme

Ilustrasi/Net
Ilustrasi/Net

MEMINJAM alat analisis yang digunakan kaum Marxist–negara adalah pelayan bagi kepentingan kelompok yang dominan. 

Negara yang dikuasai secara  dominan oleh segelintir elite kaya kapitalis, maka negara itu dibuat agar menguntungkan kepentingan mereka.

Di negara yang mempraktikkan sistem kapitalis, perangkat-perangkat negara, aparatus, seluruh produk perundang-undangan, kebijakan, program,  lembaga-lembaga, bahkan struktur sosial kemasyarakatannya  disusun agar memberikan dukungan bagi kepentingan, atau setidaknya jangan sampai mengancam keberlangsungan istana bisnis mereka.

Indonesia, yang dalam praktik politik, sosial dan ekonominya  menerapkan sistem kapitalisme (baca: kapitalisme pinggiran) maka segala peraturannya juga mesti mengikuti selera para elite kaya kapitalis. Semua dibuat agar dapat menjamin sistem perusahaan persero kapitalis yang menempatkan kekuasaan modal finansial sebagai alat penentu nasib orang banyak tetap supreme, menjadi yang utama.

Cara kerja negara dan pola hubungan yang dibangun sepenuhnya harus menguntungkan kepentingan mereka. Agar mereka tetap dapat terus mengeksploitasi terhadap tenaga manusia dan alam untuk mengejar keuntungan serta menumpuk kekayaan demi penuhi hasrat keserakahan mereka.

Peraturan sistem Pemilu dan politik pada umumnya harus mengikuti selera para kapitalis tersebut. Pada intinya agar mereka dapat mengontrol kepentingan mereka melalui hasil dari Pemilu, yaitu melalui pemimpin pemimpin yang lemah, oportunis, nir ethik dapat disetir oleh kepentingan para kapitalis.

Awalnya, cara paling jitu adalah ciptakan sistem partai yang lemah dalam memperjuangkan kepentingan ideologi mereka. Kemudian menciptakan sistem Pemilu yang ultra liberal.

Sistem partai dibuat agar lemah dalam membangun demokrasi di organisasinya. Atas nama  kebebasan dan demokrasi, partai dibuat agar dapat dikuasai sepenuhnya oleh kepentingan para dinasti feodal dan pemilik kapital besar.

Aturan partai dibuat selonggar-longgarnya untuk memungkinkan bagi mereka yang hanya haus kekuasaan berkuasa di dalamnya, selama-lamanya. Platform partai dibuat agar jadi semacam alat pidato demagogi yang penuh bualan semata.

Kader-kader andal yang memungkinkan mereka untuk berjuang penuh dedikasi, demi kepentingan ideologi disingkirkan. Partai-partai itu untuk menutup kepentingan elektoralnya hanya mensyaratkan dua hal penting. Calon-calon anggota legislatif dan eksekutifnya dipilih dalam dua basis kelompok saja, mereka yang punya modal finansial dan popularitas semata.

Mereka yang datang di partai membawa modal finansial dan manusia manusia yang hanya dihidupkan oleh popularitas jadi prioritas utama partai. Aspirasi rakyat konstituen yang berada di tangan anggota militan partai yang bekerja untuk kepentingan memperjuangkan kepentingan rakyat diabaikan. Mereka yang tak berjerih payah di partai boleh datang setiap saat untuk memborong kursi partai untuk duduk di jabatan publik semacam legislatif dan eksekutif.

Sebuah Undang-undang Pemilu di negara kapitalis itu disusun agar tidak merusak kepentingan para kepentingan kapitalis. Makannya dibuatlah sistem Pemilu terbuka dan liberal agar anggota partai gasak gasakan memperebutkan suara dan bukan untuk perjuangkan kepentingan dan platform partai mereka.

Pemilu dibuat agar kepesertaan rakyat menjadi semacam formalistis semata. Agar demokrasi seakan akan hadir dan nyata. Namun  calon-calon anggota legislatif dan eksekutifnya ditentukan secara tertutup oleh elite kaya dan elite politik partai sebelum musim pemilu dibuka.

Kenyataan ini dapat kita lihat hasilnya di lapangan. Mereka yang hanya andalkan kekuatan keuangan dan kekuatan popularitas semata yang diunggulkan partai. Hasil Pemilu adalah hasil saringan dari keluarga elite feodal. Partai politik yang memimpin, yang menguasai kursi parlemen dan jabatan eksekutif adalah hanya kepanjangan tangan dari kepentingan elite kaya.

Hasil akhirnya, negara hanya alat bagi kepentingan elite kaya. Pejabat publik sesungguhnya hanya berisi para begundal kapitalis yang menutup  muka mereka dengan topeng janji-janji dan slogan harapan tentang kemakmuran dan keadilan bagi rakyat semesta. Mereka berubah jadi antek kepentingan kapitalis nasional dan global semua.

Para kapitalis itu terus tetap melanggengkan monopoli bisnis dengan kekuatan kapitalnya. Suara rakyat lagi-lagi hanya jadi nyanyian koor mereka yang tidur mendekur di Senayan dan istana yang suka berpesta pora ketika rakyatnya hidup menderita.

*Penulis adalah Ketua Asosiasi Kader Sosio-Ekonomi Strategis (AKSES)

ikuti terus update berita rmoljatim di google news