Nalar Politik dalam Ambisi Satu Putaran

Ilustrasi kursi presiden/RMOL
Ilustrasi kursi presiden/RMOL

SEMRAWUT! Begitu kiranya kondisi kehidupan kita hari-hari terakhir ini, jelang masa pemilihan yang tidak lebih sepekan mendatang.

Gagasan tentang kemenangan satu putaran dari pasangan calon yang didukung kelompok berkuasa mulai mendominasi melalui berbagai lini masa media.

Konstruksi tentang keuntungan sekali putaran dari proses pemilihan politik, terus-menerus dinarasikan. Dalam kerangka komunikasi, harapan yang ingin dicapai melalui pola repetitif adalah terbentuknya persepsi hingga alam bawah sadar. Perlu ada kontranarasi yang berbeda sebagai penandingnya.

Sesungguhnya, politik dalam makna tertingginya, adalah sebuah jalan mulia bagi kebaikan dari kepentingan hidup bersama. Secara konotatif, politik terdegradasi menjadi urusan kekuasaan dan hasrat mendominasi, syahwat yang diperturutkan, meski menggunakan jargon “demi rakyat”.

Produksi narasi kemenangan satu putaran, mengandaikan beberapa asumsi dasar, (i) terkait efisiensi anggaran pelaksanaan kegiatan pemilihan, (ii) mempercepat proses rekonsiliasi publik, (iii) menciptakan stabilitas, terdapat kepastian bagi dunia ekonomi dan bisnis, hingga (iv) meredakan polarisasi.

Dalam kerangka bernalar, asumsi yang hendak ditawarkan sebagai hipotesis seolah benar, meskipun dasar-dasar premis yang dijadikan sebagai acuan dari upaya penarikan kesimpulan mengandung berbagai kesalahan fatal. Kita perlu urai perlahan dan membenahi format berpikir di tahun politik.

Pertama, apakah efisiensi merupakan tujuan dari bentuk demokrasi yang dilakukan? Dalam konteks pemilihan, duduk persoalan yang hendak dituju adalah terpilihnya pemimpin terbaik dari proses berkualitas. Dengan begitu, efisiensi yang seolah menjadi dasar dari satu putaran terbantahkan.

Pemilihan dilaksanakan untuk memperoleh hasil yang terbaik, mewakili harapan publik, sehingga tahapan yang dilalui tidak bisa lantas disederhanakan. Terlebih, anggaran kegiatan telah dipersiapkan sebelumnya. Prinsip dasar demokrasi adalah sirkulasi kepemimpinan, dari semua untuk semua.

Bila kemudian basis dasar keharusan pemilu satu putaran adalah efisiensi biaya, sebaiknya dipikirkan mekanisme teknis yang minim biaya, seperti digitalisasi e-voting. Tidak mungkin kita berpaling dari pilihan demokrasi ke model monarki, yang bentuk peralihan kekuasaan diwariskan antar generasi, atau sekedar aklamasi formalitas.

Kedua, proses rekonsiliasi akar rumput hanya akan terjadi bila para pihak yang terlibat dalam kontestasi mendorong keberadaban dalam berpolitik, mendidik publik untuk kritis, tidak hanya menampilkan relasi emosional sebagai faktor dalam memilih melainkan memiliki kemampuan rasional.

Berbeda pilihan dan pendapat adalah keindahan dalam demokrasi, dengan itu maka elit politik diminta untuk mencerdaskan lebih dari sekadar menumpahkan provokasi. Sikap kenegarawanan para tokoh diuji guna memastikan kehidupan berbangsa tetap terjaga utuh, tidak terpecah untuk kepentingan sempit.

Rekonsiliasi dapat digaransi melalui kemampuan elite untuk menempatkan proses pemilihan sebagai fase dewasa dalam bertindak secara politis. Persatuan hanya akan dibangun melalui rasa saling percaya, menghilangkan kecurigaan, karena itu maka etik, moral, dan nilai kejujuran menjadi panduan utama.

Ketiga, stabilitas dan kepastian berusaha sebagai premis dari pemilihan satu putaran adalah hal yang musykil. Pemilu berkualitas tercermin dari keterpilihan pemimpin yang dihasilkan.

Jika kemudian proses dilepaskan dari tujuan yang ingin dicapai, maka ekonomi akan tetap bila kualitas pemimpin yang didapatkan merupakan hasil politik transaksional, dengan derajat rendah.

Keempat, meredanya polarisasi di segala lini hanya akan terwujud manakala pasca pemilihan jalan rekonsiliasi untuk merajut kembali persatuan diupayakan oleh peserta kontestasi. Para pihak yang menang tidak merasa adidaya, sementara yang kalah tetap terhormat menjadi oposisi kekuasaan.

Sebagaimana Levitsky & Ziblatt, 2019 dalam How Democracies Die, 2017, bahwa proses demokrasi dalam ambang kematian bisa diperoleh jika pemimpin otoriter terpilih dan berkuasa, indikasinya terlihat dengan aturan main ditabrak, ketiadaan oposisi penyeimbang, hingga toleran terhadap kekerasan.

Kita tentu berupaya untuk keluar dari jerat kepemimpinan yang berpotensi merepresi serta memanipulasi kehendak publik, karena itu proses demokrasi dan pemilihan umum adalah pintu pembuka jalan untuk sampai pada situasi kebebasan atau terjerembab dalam celah gelap tak berujung.

Penulis adalah kandidat Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta.