Ketika Sang Surya Bergema di Grha Gus Dur

Peserta acara Bimbingan Teknis (Bimtek) Training of Trainers (ToT)/Ist
Peserta acara Bimbingan Teknis (Bimtek) Training of Trainers (ToT)/Ist

RATUSAN peserta acara Bimbingan Teknis (Bimtek) Training of Trainers (ToT) dengan khidmat melantunkan lagu ''Sang Surya'' di Grha Gus Dur, Minggu, 7 Januari 2023. Peristiwa ini tergolong langka bahkan belum pernah terjadi dalam sejarah Pemilihan Presiden (Pilpres) di Indonesia usai reformasi 1998. Yakni, ketika mereka yang kental berlatar-belakang Nahdliyin dan Muhammadiyin bareng menyanyikan lagu mars organisasi Persyarikatan Muhammadiyah.

Awalnya, Asisten Coach Timnas AMIN, Jazilul Fawaid, yang berinisiatif mengajak peserta untuk menyanyikan tembang mars kebanggaan warga Muhammadiyah itu. Dengan syarat, usai melantunkan 'Sang Surya', para peserta berikutnya diajak juga melantunkan lagu ''Yalal Wathon'', mars kebanggaan Nahdliyin. Peserta sepakat, dan dimulaikan mereka bernyanyi bersama. Terlihat semangat, penuh antusiasme. Bahkan, Jazilul Fawaid serta Nahdliyin yang hadir pun terlihat bersemangat ikut menyanyikan ''Sang Surya''.

Suasana menyatunya mereka yang berlatar-belakang NU dan Muhammadiyah ke dalam koalisi perubahan, sungguh menggembirakan. Dan uniknya, peristiwa ini terjadi di Jawa Timur dalam Pilpres kali ini. Sementara Jawa Timur biasa disebut sebagai provinsi basis santri yang berkonotasi ke NU. Meski sesungguhnya istilah santri juga kini secara luas tertuju pada mereka yang sehari-hari sangat kuat berpegang teguh pada doktrin keislaman dan praktek ibadah.

Bagi para santri, terlibat dalam politik praktis adalah ibadah. Bertujuan menciptakan Baldatun Toyyibatun Warrobun Ghofur, negeri yang baik dengan Rabb Yang Maha Pengampun. Tentu saja, dalam proses menciptakan negeri yang baik itu dibutuhkan siasat. Diperlukan keterampilan berpolitik. Terutama mampu mengetahui seksama kondisi serta situasi ummat. Santri menjadi ujung tombak perubahan dan perbaikan kondisi plus situasi ummat.

Ketika harga minyak goreng tak kunjung turun, ummat terdampak. Saat harga pupuk melangit dan langka, ummat jadi kesusahan. Tatkala harga beras tak jua turun, ummat menanggung derita. Situasi dan kondisi yang tak beres ini tentu tak hanya menyasar pada entitas keagamaan tertentu. Dan santri melihat seksama pada penderitaan ummat dalam keseharian selama ini.

Meski trikotomi Geertz (santri, abangan, priyati) acap dipertanyakan keabsahannya, namun bolehlah dipakai untuk mendefinisikan santri sebagai varian masyarakat di Jawa yang taat kepada ajaran Islam. Taat dalam arti bukan cuma menjelang Pemilu, tapi taat kepada ajaran Islam dalam kesehariannya. Termasuk 'social origin' (asal-usul sosial) yang menjadi indikatif bagi sosok yang tampil di panggung capres.

Indikasi itu menciptakan kenyamanan dan kepercayaan pada sesama santri, darimana pun asalnya. Desa atau perkotaan. Lokasi asal santri menjadi tak lagi relevan, sebab indikasi santri sudah melekat berdasar asal-usul sosial. Dari situlah relevansi kenapa warga Nahdliyin dan warga Muhammadiyin lalu merasa sreg pada AMIN. Sebab, pada paslon inilah indikasi santri yang paling kuat.

Peneliti di Surabaya