Pencabutan Pembekuan Hak Paten Konstruksi Sarang Laba-laba Diduga Menyalahgunakan Wewenang

Almarhum Ir Ryantori (kanan) dalam acara seminar/Ist
Almarhum Ir Ryantori (kanan) dalam acara seminar/Ist

Surat pencabutan pembekuan Perbaikan Konstruksi Sarang Laba-Laba (PKSLL) yang dimiliki oleh PT Katama Suryabumi oleh Kemenkumham dinilai janggal.


Demikian disampaikan Kuasa hukum Kallista, Ilhamdy Agus Wahyudi, S.H, M.H dan Prillia Nur Hidayah, S.H dari Sirhan Hawary & Partners dalam keterangannya, Sabtu (24/2).

Menurut Ilhamdy, pada 31 Oktober 2019, Paten PKSLL IDP 0 018 808 dibekukan oleh Kemenkumham yang ditandatangani Dirjen Kekayaan Intelektual (KI) Dr Freddy Harris, S.H., LL.M., ACCS.

Pembekuan itu dikarenakan, adanya fakta bahwa pengalihan hak dari inventor Ir Ryantori dan Ir Sutjipto kepada PT Katama Suryabumi bukan merupakan pengalihan hak, melainkan surat kuasa.

Namun pada 24 Agustus 2022, tiba-tiba Direktur Paten KI Kemenkumham mencabut surat pembekuan sementara Paten IDP 0 018 808 Nomor HKI.KI.05.09-05 yang ditandangani oleh Direktur Paten, DTLST dan Rahasia Dagang, Drs Yasmon, MLS. 

Ilhamdy menduga terdapat kejanggalan adanya indikasi penyalahgunaan wewenang serta dugaan cacat administrasi pada bagian QR Code.  

Atas dasar itulah, Kallista Ryantori melalui kuasa hukumnya mengirimkan surat kepada Kemenkopolhukam pada 11 September 2023 perihal permohonan perlindungan hukum terkait adanya indikasi penyalahgunaan wewenang oleh oknum pejabat/pegawai di Dirjen Kekayaan Intelektual (KI) Kemenkumham dalam Sengketa Paten IDP 0 018 808 (Paten PKSLL).

Karena surat itu tertulis atas nama Plt Dirjen KI dan ditandatangani oleh Direktur Paten, DTLST dan Rahasia Dagang Drs Yasmon, MLS. 

Dalam surat tersebut ada barcode kecil (QR code) yang jika discan isinya diduga tidak sesuai dengan isi surat tersebut.

Isi QR code berupa:

"Sistem Informasi Surat Masuk dan Keluar (SISUMAKER) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang menyatakan bahwa Nomor Surat HKI.3-UM.01.01-54 dari Direktorat Paten, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu dan Rahasia Dagang perihal Permohonan Penunjukan Pejabat Pengaduan Kegiatan Konsultasi Teknis Permohonan Paten Online." Tertanggal 27 Mei 2022. Padahal surat pencabutan pembekuan pada 24 Agustus 2022.

"Setelah surat tersebut kami baca dan pelajari secara mendalam, kami menemukan kejanggalan pada bagian QR code di halaman dua. Karena setelah kami scan, hasilnya tidak sama dengan surat yang kami terima," terang  Ilhamdy.

Sementara berdasarkan kajian Pakar Hukum Administrasi Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr Sri Winarsi, S.H., M.H., menyatakan, bahwa kedudukan Drs Yasmon, MLS sebagai Plt Dirjen KI seharusnya tidak berwenang mengambil keputusan atau tindakan yang bersifat strategis.

"Dalam hal ini tidak berwenang mencabut Surat Pembekuan Sementara Paten IDP 0 018 808 Nomor HKI.KI.05.09.05. Karena pencabutan demikian itu bukan merupakan tugas rutin sehari-hari," kata Dr Sri Winarsi dalam kajian hukumnya dikutip Kantor Berita RMOLJatim.

Karena Surat Nomor HKI.3-KI.05.01-264 yang ditandatangani oleh Direktur Paten, DTLST dan Rahasia Dagang a.n Plt Direktur Jenderal Kekayaan Intelektual, Drs. Yasmon, MLS., merupakan suatu produk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang cacat hukum. 

"Yakni cacat wewenang dan cacat substansi sehingga akibat hukumnya adalah batal demi hukum yang berlaku ex tunc yaitu dianggap dari awal tidak ada akibat hukumnya," tandasnya.

Karena batal demi hukum, lanjut Dr Sri Winarsi, maka terhitung sejak tanggal dikeluarkannya Surat Nomor HKI.3-KI.05.01-264, surat pencabutan pembekuan yang ditandatangani oleh Drs Yasmon tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Maka, terhitung sejak awal dikeluarkannya dianggap tidak pernah ada dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," tandasnya.

Jika ada fakta ditemukan ketidakaslian surat Nomor HKI.3-KI.05.01-264 melalui barcode yang tertera dalam surat pencabutan pembekuan tersebut, terang Dr Sri Winarsi, didapatkan fakta bahwa surat itu diduga ada ketidakaslian karena tidak memiliki kesamaan antara isi surat dengan hasil scan barcode.

"Secara hukum administrasi, terjadi kecacatan wewenang dan kecacatan substansi karena secara tertulis dengan yang di barcode tidak ada kesamaan, hal ini bisa menimbulkan kesesatan dan tidak memberikan kepastian hukum," ujarnya.

Hal ini juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan terutama melanggar azas-azas umum pemerintahan yang baik.

"Terutama melanggar asas kecermatan, azas kepastian hukum pelayanan publik yang baik," terangnya.