- Kaesang Pimpin PSI, Anies-Cak Imin Berpeluang Masuk Putaran Dua
- Gelombang Baru Covid-19 Mengancam Ekonomi 2023, Indonesia Jangan Terlambat Bersikap
- Mengajak Jokowi Jadi Tiran
Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme RAN PE yang baru diteken Presiden Joko Widodo menjadi sorotan publik.
Perpres yang ditandatangani Presiden Jokowi pada 6 Januari 2021 didasari dengan semakin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di Indonesia serta menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman dan stabilitas keamanan nasional. Dalam upaya pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, diperlukan suatu strategi komprehensif, untuk memastikan langkah yang sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan yang tertuang dalam pertimbangan Perpres.
RAN PE ini mencakup 3 pilar pencegahan dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme, sebagai strategi dan program utamanya, yang meliputi (1) pilar pencegahan, yang mencakup kesiapsiagaan, kontra radikalisasi, dan deradikalisasi; (2) pilar penegakan hukum, pelindungan saksi dan korban, dan penguatan kerangka legislasi nasional; dan (3) pilar kemitraan dan kerja sama internasional.
Secara keseluruhan, baik dalam proses maupun pelaksanaannya, RAN PE memperhatikan prinsip-prinsip hak asasi manusia; supremasi hukum dan keadilan; pengarusutamaan gender dan pemenuhan hak anak; keamanan dan keselamatan; tata kelola pemerintahan yang baik (good governance); partisipasi dan pemangku kepentingan yang majemuk; serta kebhinekaan dan kearifan lokal.
Disisi ini Perpres dianggap bisa membantu masyarakat mendapat perlindungan atas tindakan yang akan dilakukan dari kelompok ekstremis, baik dari hak asasi manusia, penegakan hukum hingga partisipasi masyarakat dalam kemitraan dan kerjasama.
Di sisi yang lain, ada pihak yang menilai RAN PE sangat rawan menjadikan masyarakat sipil sebagai alat kekuasaan untuk menekan perbedaan dan daya kritis masyarakat terhadap jalannya roda organisasi pemerintahan. Terlebih kebebasan berekspresi sudah tertuang pada pasal 28 UUD 1945.
Ditambah Perpres ini bisa berpotensi menjadi konflik horizontal karena masyarakat menjadi lebih mudah saling curiga dan saling menuduh satu sama lain.
Ada beberapa persoalan yang harus menjadi bahan kajian lebih mendalam oleh berbagai pihak.
Pertama, pemerintah akan memasukkan materi pencegahan ekstremisme ke dalam kurikulum pendidikan formal yang akan diajarkan mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Pemerintah pun akan melatih guru dan dosen terkait materi tersebut dan berharap materi pencegahan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme digunakan di seluruh jenjang pendidikan dan meningkatkan kapasitas dan kemampuan para guru dan dosen.
Selain itu, pemerintah juga akan mengecek ulang buku-buku pelajaran di sekolah. Pemerintah ingin memastikan buku-buku memuat materi pelajaran yang mendukung pencegahan ekstremisme.
Perpres ini bila tidak didukung dengan definisi yang jelas terkait ekstremisme akan membuat bingung tenaga pengajar dan disalahgunakan pihak tertentu untuk mengkriminalisasi orang atau kelompok lain karena subyektivitasnya.
Ditambah dengan buku pelajaran dan alat-alat pembelajaran yang akan digunakan oleh tenaga pengajar, bila menggunakan ornamen salah satu agama dan salah menjelaskan kepada anak didik, apalagi pada tingkat dasar maka akan membuat pola pikir anak yang menyimpulkan agama tersebut salah dan bermasalah.
Seharusnya pemerintah lebih memikirkan bagaimana kurikulum pelajaran Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN) bisa kembali ada di tingkat dasar hingga perguruan tinggi.
Kedua, ketentuan mengenai pelatihan yang akan diberikan masyarakat. Selain mendapatkan materi, masyarakat yang ikut pelatihan bisa melaporkan terduga ekstremis ke kepolisian.
Salah satu yang mendukung adalah Anggota Komisi I DPR RI dari Fraksi Partai Golkar Christian Aryani. Menurutnya, pelibatan masyarakat bisa semakin meminimalisir tindakan terorisme yang bermula dari paham ekstremisme.
Disisi lain, ini akan menjadi konflik horizontal dan pelanggaran hak asasi manusia melalui praktik-praktik intoleransi baru dimasyarakat, bila penerapan Perpres No.7 tahun 2021 itu salah. Terutama mengenai pelatihan masyarakat untuk melaporkan terduga ekstremis ke kepolisian.
Terlebih ketika ada masyarakat yang sudah menjadi "tim antiekstremisme" bisa menjadi sangat mudah curiga dan berani sewenang-wenang dengan suatu kelompok untuk melakukan tindakan tertentu dan akhirnya perpres ini hanya menjadi pematik konflik.
Sebagai contoh kecil, misalnya bila ada masyarakat yang sudah ada atribut karena dididik antiekstremisme, dia bisa melangkahi hak privasi seseorang yang sebenarnya tidak boleh secara wewenang.
Beda halnya dengan aparat penegak hukum seperti kepolisian yang mempunyai wewenang sesuai aturan hukum yang berlaku dan sangat jelas pertanggung jawabannya.
Maizal Alfian, ST, M.AP
Fungsionaris PB HMI 2018-2021
ikuti terus update berita rmoljatim di google news
- Drama Drama
- Paradigma Baru Pendidikan: Saat SMA Tak Lagi Layak Dirayakan
- Beras Melambung, Siapa Peduli?